Music

Rabu, 28 Desember 2011

Berhenti

tidak pernah ku lihat ia murka. bermuram durja pun tidak.
semuanya nampak tidak terlihat. begitu cerdik disembunyikannya. sudah lima jam kertas ini kosong. yang kupandangi hanyalah garisan hitamnya kertas. bersih.
sebenarnya, berulang kali kucoba menumpahkan berbagai imajinasiku pada kertasku. gagal.
apalah yang aku tunggu ? yang penting hanya menulis.
sudah ku coba pula mengusirmu dari pikiranku. sekuat tenaga. hingga ku pejamkan mata sia-sia. 
belum cukupkah kamu menghantui aku ?
horor rasanya.
sengajakah kau membuatku candu dengan kehilanganmu aku selalu ingin bersamamu di setiap waktuku ?
realita.
berhentilah. behenti . aku bilang berhenti !
berlari-lari dipikaranku.

Minggu, 25 Desember 2011

Sms

oke, aku ingin bercerita.
aku menunggu dering nada hape. seperti biasa. yang aku tunggu adalah sms dari dia. kali ini bukan dering nada hapeku yang aku tunggu.  namun, deringan nada hape anggota keluargaku yang lain. yang terakhir kali aku pakai untuk mengirim pesan padanya.

 ***
aku terdiam untuk sejenak. melihat nama dia tidak dalam bungkusan gambar amplop kecil yang masih tertutup di handphone. aku masih berpikir dalam kediaman ini. rasa penasaranku seperti menuntun aku untuk membuka isi sms itu. pesan yang seharusnya tidak aku baca karena bukan untukku. malah aku baca dengan sangat detailnya. lancang sungguh.
oh ternyata Tuhan, lebih baik aku tidak mengetahui isi pesan itu.
sekarang, yang melanda pikiranku hanyalah kecengangan. aku menulis ini, masih teringat jelas, seperti masih membaca pesan itu.
mungkin, Tuhan sengaja melibatkan aku untuk tahu tentang masalah ini, masalah yang tertulis dalam sepucuk surat elektronik canggih di handphone.
ya, dugaan ini semakin kuat yang siap meledak mengeluarkan rudalnya untuk peperangan antara aku dan isi pesan sialan itu.

***
aku tak pernah tahu apapun tentang hidup. yang aku tahu jangan ajarkan apapun tentang hidup pada siapapun. karena hiduplah yang akan mengajarkan hal apapun pada siapapun . termasuk aku.
ini tidak berlebihan. sungguh. hanya saja aku tidak bisa menceritakan apa yang aku baca.
terlalu pribadi.
kadang kala, ada waktunya kita lebih baik tidak mengetahui apapun. keadaan ketidaktahuan itu bisa membuatmu lebih nyaman.
bayangkan saja, jika kita tahu semuanya, itu hanya bisa meninbulkan ketakutan dan kekhawatiran yang diambang batas kewajaran.

Sabtu, 24 Desember 2011

Puisi hari ini

Aku lari

aku lari dari diri
aku lari dengan hati
aku lari sendiri
aku lari ingin pergi
aku lari menghindari
aku lari sampai nanti
aku lari ---------------

ingin mati.

*****************************************************************************************

Kacau

ingin gila 
dengan berbagai cara
disengaja
tapi tak nampak jua

ironis

ingin gila
akal masih menyala
dipaksa
tapi tak nampak jua

meracau

ingin gila
biar hidup lupa
dirasa
tapi tak gila jua


Sabtu, 03 Desember 2011

Muak

malam ini sungguh mempermainkan aku !

Sayang

sayangku, dengarkan . bukan dengan telingamu. "aku dibuat frustasi, ketika keagungan cinta terasa bukan pada waktunya. dia meletup begitu saja. tanpa kita sadari."
saat rayuan terdengar mengetuk keangkuhan, waktu pun terasa hanya satu kedipan mata.
aku tahu, kau akan menganggap aku keluar dari batas kewarasan. namunlah salah, jikalau kau dapat merangkai semua kata yang telah aku acak, dengan indah. menjadikan sebuah karya untukku.
mungkin sebuah puisi yang kau lantunkan dengan gaungan suara mu yang khas. mungkin pula sebuah lagu yang kau senandungkan dengan nadamu yang sedu. atau sebuah cerita singkat, tentang apapun yang akan terjadi di kemudian hari, semuanya hanya akan menjadi sebuah cerita, berwujud kenangan, beraroma harapan, dan berjiwakan cita-cita yang seharusnya menjadi nyata.
sayangku, debar ini seakan mengirim pesan untukku. membuatku dongkol menjatuhkan kepala pada bahumu sejenak. menatap langit malam, bahwa ini akan terjadi untuk seterusnya.
ini cukup memeras pikiranku. hingga setiapku berfikir, yang terfokus hanyalah tentangmu.
aku ini terlalu muda, untuk tahu tentang arti cinta. semuanya tidak hidup hanya untuk cinta. dan ini bukan tentang cinta, ini tentang kita.
apalah bedanya, mungkin kau melontarkan pertanyaan itu padaku?
hingga aku terlelap dan  mata tak bisa membuka kelopaknya lagi, tidak kan pernah kau temukan jawaban atas pertanyaan mu.
sebenarnya, pertanyaan yang menjadi bumerang untukku, telah ku koarkan pada ku sendiri.
sampai saat ini belum terpecahkan karena ini tentang perasaan. sebelum jamannya, bukankah kau tahu, tidak ada satu orang pun yang bisa menjabarkan apa itu cinta. yang menyelimuti cinta hanyalah ceritanya.
tanyakan pada Romeo dan Juliet, apakah cinta menjalar pada semua kalangan?
dan tanyakan apa itu cinta? hingga mereka tersohor di bumi yang kita pijak ini.
sayangku, tuntunlah aku. ulurkan tanganmu dan raih aku sekiranya aku terjatuh dalam perjalananku menuju tempat tinggi.
apakah kau mendengarkan semuanya dengan hatimu?
dan itu semoga...



Semoga

aku berpijak di atas kepercayaan. keraguan hanya dapat meruntuhkan iman secara perlahan.
ini tidak seperti malam-malam yang biasanya, disaat pengharapan hidup di 1/3 malamNya.
perenungan semakin menjadi jadi, saat mimpi selalu datang dan pergi.

Kamis, 01 Desember 2011

Hanya karena

baru saja, terbangun dari tidur yang pendek. pejaman mata dimulai pukul 24.00 malam.
semalam terlupakan dan disengaja dilupakan.
aku benci mendayu dayu. jikalau dayuku sendu. semuanya itu memang salahku. bukan mereka. bukan dia dan bukan yang lainnya. tetapi aku. hanya aku.
rasanya ingin benar benar pergi dan meninggalkan rasa bhakti. 
aku benci aku ada.
kenapa,
awal desember ku kelabu, air mata mendiris di pagi ini. sesak, Tuhan.... ?
hanya karena hal kecil, keadaan menjadi sangat berlebihan. tak terkontrol menjulur bagai akar adventif. bukan aku yang merasa, menganggap itu hal kecil. tapi seseorang yang melihat. mengiyakan bahwa apa yang aku rasa, itu benar adanya....
 

Rabu, 30 November 2011

Kasar

Tidak sehalus julukannya. ini yang membuat aku tercengang menghentikan kebahagiaanku sejenak. karena ini, aku tak bisa menerimanya , sungguh tidak. jika pun aku mendapatkan ini.
ini adalah sebuah keputusan, yang tidak bisa mengajukan hak banding pada pengadilan Agung Sang Pencipta.
Lagi - lagi hanya bisa mengelus dada. ketidakharmonisan terleflesikan rautan di wajah. bersembunyi di balik semak keceriaan adalah kebodohan.
Siapapun dapat membaca. aku tahu. ada yang lain, yang terikat borgol besi takdirNya. karena semua ini bukan pilihan. maka terimalah dengan segala paksaan.
Sebelum pengumuman, sesuatu telah membisikan. Kedewasaan umur, tetap saja tidak menjanjikanku bersikap dewasa.
katanya aku harus merasa bangga pada orang yang mempunyai julukan sehalus budinya.
setengah hati kupalingkan diri. meretakan cermin pun jadi. lebih baik berpaling sendiri.
katanya aku begitu beruntung memiliki dia yang tangguh.
katanya aku harus tersanjung, karena dia memiliki sosok keduanya.
sayangnya, itu katanya. kata mereka yang tidak tahu bagaimana keadaan dalamnya.
apa yang mereka tahu ? itu hanya berdasarkan katanya tentang aku.
aku enggan bersamanya. itu tidak sepenuhnya.
aku enggan ada di hatinya. itu tidak sebenarnya.
aku enggan menjadi bagian hidupnya. itu tidak semutlaknya.
karena caranyalah, yang membuat bahwa aku tidak pernah berada di jalan yang sama dengannya, bergandengan tangan, seringnya bersama dalam jarak yang berjauhan, berhipotesis : sekat pemisah terlalu kokoh. membiaskan perbedaan yang sangat jelas. antara aku dengan julukan halusnya.

Senin, 28 November 2011

28 November

dan semua orang bijak sama seperti aku. merasa prinsip tidak pernah sendiri menjadi terbukti. dan diri semakin percaya pada sesuatu yang terlefleksikan salah. jika pertengkaran tidak pernah ada posisi yang membuat kesalahan karena kedua pihak sederajat salah dianggap pihak ketiga. lantas, kenapa ada pertengkaran ?
keputusan tidak punya hati adalah salah dan benar mempunyai dua jabatan.
satu sisi, tidak mempunyai hati adalah kekejaman. dan mempunyai hati beresiko sakit hati.
tali yang terputus tidak akan bisa menyatu lagi. sebab menyatu meninggalkan bekas luka berupa tonjolan yang diikatkan satu sama lainnya.
ayolah, lantas bagaimana tali persabahatan ?
dan kembalilah pada prinsip orang bijak "Tidak ada sahabat sejati, yang ada hanya kepentingan " - khalil gibran.

Minggu, 27 November 2011

Jamah

tubuh itu mengisyaratkan ketidakterawatan. lihatlah dirimu, aku simpulkan tentangmu : buruk. maaf dan terimakasih teriring. saat bagian purzzle perasaan ini seharusnya menjadi satu terkumpul penuh utuh. hingga yang lain tak kan menerka bahwa  itu adalah kita.
" tiket itu saksi kita dalam sebuah keberakhiran"....


Rabu, 02 November 2011

Kolerasi

Tolehan terakhir masih terekam dalam lensa ingatan ini. Memancarkan buih kecurigaan. Menggaung jeritan keringkihan hati. Terbenteng tinggi berjeruji. Pelarian diri, menghasilkan berbagai bentuk kegagalan. Terpola bahkan abstrak bagai penikmat seni yang dapat memahami pesan sang seniman. Memohon, mengulurkan tangan pun tak kan pernah ada gubrisan.
Dan kenapa membanggakan menjadi suatu keharusan ?
Bukankah semuanya ternilai relatif ? dan mustahil adanya kemutlakan. Hanya teorilah yang mengatakan.
Keberadaannya tak terjamah. Tak terduga serta tak tertebak. Berjalan kokoh dalam langkah ketidakpastiaan. Mudah tergoyahkan, bahkan terhempas. Disinilah sarangnya. Tempat semua menyatu meninggalkan jasad. Berlari pada satu titik kejiwaan.

Selasa, 01 November 2011

Hujan lagi

"hujan, perdengarkan tik tik kan lagu kesedihan. langit telah bergemuruh mengeluh.
di detik detik jam yang berbunyi pun terdengar kesedihan.
setiap yang berlalu jadilah tutup buku sebentuk kenangan.
hujan, perdengarkan ti tik kan lagu kesepian. langit malam memberi hitam untuk segumpal cahaya kuning kecil bulan yang sirna oleh hujan.
hujan, ringkihan hati ini tak bersua dimana mana.
tak ada tempat tetap yang menjadi habitat.teruntang lantung dibawah tik tik kan hujan.
hujan, perdengarkan tik tik kan lagu kerinduan. saat tak ada sambutan tangan kanan serta sorot tajam mata kehilangan.
hujan, tak kan pernah kulupakan setiap tik tik kan, tik tik kan air harapan gelembung partikel memorabilia.
satu hal...hujan, aku suka....
menjadi teka teki jawaban atas pertanyaan mengapa aku suka hujan ? 
dan hujan, tik tik kan mu , aku, kita berbadu dalam keseimbangan hati dan pikiran dalam lamunan hujan...."




Senin, 17 Oktober 2011

Sejarah

benarkah Tuhan tak pernah membuat sesuatu yang sia-sia ?
tergoyahkan kepercayaan akibat ucapan. begitu mudah terlontarkan kata sejarah. tak berbeban sampai tak berperasaan. mantra itu masih berlari di otak kiriku, terkirim darinya dan terekam selamanya. uasaha menjadi kesia-siaan semakin terasa. mengecam diri sendiri bisa jadi. benarkah keberuntungan itu bukan berasal dari Tuhan ? seperti berharap pada bintang jatuh ?
semuanya terasa salah. keadaan ini mungkin keluar dari jalur normalnya. seharusnya tepat melintas pada kenormalan, malah melenceng di ambang batas keraguan.
siapakah yang akan meyakinkan ? jawabannya tetap sama. tak kan pernah berubah sampai menjadi sejarah. itu aku. aku yang akan tetap meyakinkan diriku. kalau bukan, siapa lagi ?
yang lain pun sama. Tuhan tidak pernah tidur, jaraknya selalu dekat. mungkin aku yang menjauh, hingga Tuhan kirimkan ajaran yang terselipkan.
kepercayaan pada sesuatu memang mengambang jika belum terbuktikan.
berpikir seperti teori kuno Vedanta. yang percaya akan energi suara dari kata-kata.
berusaha mengirimkan frekuensi kepositifan berulang ulang, dan berdialoglah bagai bercermin.
"katakan hanya padaku, bahwa aku bisa atas kehendakNya dan kembali membangun kokoh kepercayaan yang hampir runtuh. yakinlah dan percayalah Tuhan tak pernah membuat kesia-siaan".
biarlah Sejarah menurutnya, menjadi sejarah yang indah dan tak mudah menurutku 

Cerpen

----------------------------------------------------------------------------------------
Langit-Langit Kamarku

Tidurku bermimpi tentang satu masa, ketika aku telah sampai berada di peraduan ambang usia dewasa. Usia kepala 5 tidaklah muda untuk memikul beban hidup dengan satu tangan tanpa pasangan tangan yang lain. Sudah sekitar 12 tahun, ayah meninggalkan ibu. Bermaksud merantau mencari perkerjaan yang lebih layak ke kota, berujung dengan tak kunjung jua pulang ke gubuk tempat peristirahatan ternyaman untukku. Sebelum aku terlahir, menyusul dengan lahirnya adikku 3 tahun kemudian, gubuk inilah yang mempertemukan ayah dan ibu. Ketika ayah semasa bujangan, pulang bertani, selalu melewati gubuk ini, peninggalan berharga kakek untuk ibu, anak semata wayangnya.
Aditya, selalu membuatku bingung. Melontarkan pertanyaan yang sama hingga di usianya yang ke 14. “kapan ayah pulang ka!”. Memang, aku bisa menutup pertanyaan itu dengan kebohongan manis serta di  balut mimik senyumku “sabar, mungkin ayah belum sukses. Jadi beliau belum bisa pulang. Yakinlah suatu saat nanti ayah pulang”.
Setiap burung yang hinggap di pohon halaman depan rumah kami pun seakan membawa kabar bahwa ayah telah lupa hartanya di desa, yang menurut siapa pun, anak adalah harta yang paling berharga daripada harta kekayaan, ya Aku dan Adit. Sedih rasanya tak terbendung, hingga suatu hari, aku selalu bermimpi tentang ayah yang tidak-tidak. Semampuku, ku hapus suudzon itu dengan mengambil air wudhu. Setiap hari, kulakukan seperti itu, meskipun aku tidak sembahyang, aku tetap mengambil air wudhu. Berharap segala prasangka burukku terhadap ayah luruh olehnya, dan hanya Tuhanlah yang tahu dimana ayah, dan bagaimana keadaannya.
Di sekolah, ku bantu ibu dengan berjualan kue di kelas. Tak seberapa banyak kue yang kami jajakan, karena yang bisa ibu buat hanyalah kue-kue kecil jajanan pasar. Begitu pun adikku, aku bangga padanya, meskipun dia seorang laki-laki, dia tak pernah malu berjualan kue. Padahal, ada saja beberapa temannya yang mengejeknya saat ia berjualan, dia bangga atas pekerjaannya yang lebih banyak menguras tenaga membantu orang tuanya sepulang sekolah dengan menjadi kuli panggul dipasar. Tapi aku bersyukur, adikku tak pernah mehiraukan cecaran mereka yang sombong akan pekerjaannya yang lebih berat  dari pekerjaan adikku. Di desaku, anak laki-laki dominan bekerja sebagai kuli panggul. Mengikuti jejak ayah mereka. Sebagian kecilnya lagi berprofesi menjadi buruh tani.
Tak pernah aku melihat ibu mengeluh berkata lelah. Padahal, untuk makan saja pun kami sulit, jika uang hasil jualan kami tidak cukup membeli beras. Hanya warung bu Nanilah yang ikhlas memberikan kami untuk mengutang beras. Karena warung-warung yang lain lelah terhadap kami,  yang menyanggupi membayar hutang tetapi tidak tepat pada waktunya. “ sudahlah untuk apa sekolah tinggi-tinggi, membeli beras saja masih mengutang” itulah yang selalu aku dengar dari pemilik warung yang lain. “ Adita, jika ibu mu tak sanggup membiayai mu sekolah, jangan memaksa. Lebih baik, kamu kawin saja seperti anaknya Pa Jumrah. Lihatlah, kini ia hidup bahagia setelah keluar dari bangku sekolah menengah pertamanya”. Ku jawab pernyataan bu Marni hanya dengan senyuman. “ di beri tahu, malah senyum “.
Mereka saja yang tidak pernah tahu, bahwa aku tak pernah meminta ibu untuk terus menyekolahkan aku. Bahkan dua tahun yang lalu, aku pernah diajak kawin oleh salah seorang anak juragan, yang kini menjadi suami anaknya Pak Jumrah.
Kami memang serba kesusahan, tapi kawin bukanlah jalan satu-satunya menuju kebahagiaan dengan harta yang berkecukupan menurut ibu.

Jingga datang meyelimuti langit, pertanda raja siang akan tidur di ufuk barat dan digantikan oleh dewi malam yang cantik dengan tampilan purnamanya. Pengawal malam pun mulai bermunculan berkerlap kerlip. Angin malam, berhembus membuat gordengku berayun rayun bak penari yang larut dalam lagunya. Aku pun larut dalam pikiranku, memandang langit dan berharap angin menyampaikan salam rinduku untuk ayah, jika memang beliau bernapas hingga saat ini. Memejamkan mata, membayangkan sosoknya. Seperti melawan dinginnya udara, tiba-tiba udara yang aku hirup menjadi hangat. Terasa hangat seperti dekapan ayah. Aku tak pernah lupa, pena pemberian ayah. Pena wasiat, aku menyebutnya.
Usiaku 5 tahun, belum tahu apa yang ayah berikan padaku, maka ibu menyimpannya. Itu hanya pena. Pena biasa berwarna hitam. Tapi entah alasan apa, mereka sangat menjaganya. Menjaga pena wasiatku, yang aku terima ketika kelas 4 SD.
Ibu dan ayah adalah tamatan SMA, itu yang aku tahu. Selebihnya entahlah, apalagi tentang ayah.
Benar benar gelap yang aku lihat, tak ada satu titik pun cahaya yang menunjukan jalan dari mana asal usul keluarga ayah.
*****
Sejak kelas 3 SD mimpiku hanya satu, ingin bertemu dan memeluknya serta membisikan bahwa aku telah pandai membaca dan menulis. Maka, dari dulu hingga kini, surat untuk ayah masih ku simpan. Tak pernah aku kirim, karena aku tak tahu harus kukirim kemana. Surat pertamaku, ada tepat dibawah celengan ayam yang tidak terisi uang. Kertasnya kusam kecoklatan, berbau dan usang dimakan usia. Aku tersenyum membaca tulisanku. Dulu setiap aku menemukan hal baru, ku tulis semua di kertas dan aku menjadikannya surat untuk ayah.
Semua surat yang ku tulis masih ada. Tapi surat inilah yang terspesial untukku. Karena itu adalah surat pertamaku. Surat kasih sayang yang riang meminta ayah agar cepat pulang. Harapan tinggalah harapan, makin dewasa aku, aktivitasku menulis surat pun terhenti di bangku SMA. Saat menyadari bahwa semuanya adalah kesia siaan. Maka semua suratku hanya kujadikan sebuah kenangan bergamat kerinduan.
*****
            “bagus sekali pena mu dit”, Siti memuji. Pena itu terlihat Siti, saat ia mengambil penghapus kupu-kupu dari tempat pensilku. “o ya? Terimakasih”. Aku heran, karena sudah tiga orang yang mengatakan bahwa pena wasiat yang tidak pernah aku pakai itu terlihat bagus.
“ boleh aku bertanya” rasa penasaranku mulai mencuat.
“ oh tentu, apa dit ?” Siti menjawab pertanyaanku dengan nada suaranya yang lembut sambil membersihkan bukunya dari goresan tangannya yang salah dengan penghapus kupu-kupu berwarna hijau.
“ kamu suka dengan pena ini?”
“ya, aku suka. Karena tak pernah aku lihat pena seunik itu. Pena bertuliskan namamu sendiri. Sang pemilik pena. Ini desa yang tidak terpencil. Namun, untuk mengukir nama di sebuah pena bukannlah hal biasa. Mungkin hanya orang kota yang tahu, dimana tempat kesenian mengukir nama dalam sebuah pena itu”
“o ya ?”
“hhhhhhmmmmmmm, kamu aneh dit. Lantas kamu dapat pena itu darimana? Seberapa banyak sih orang yang bernama sepertimu Adita Lestari” Siti tersenyum.
“dari ayah” aku tertunduk melihat sebuah pena yang ternyata sangat istimewa bagi siapa yang memandangnya.
            Siang itu di sekolah membuat aku lebih dalam memikirkan sebuah pena. Konyol mungkin. Tapi aku yakin, pena itu mungkin adalah kunci untukku bertemu ayah. Sedikit harapan datang seperti kegelapan yang ditemani setitik cahaya lilin. Dalam perjalanan pulang, aku bertemu ibu di persimpangan jalan. Ibu selalu terlihat cantik, meskipun ia berlumuran keringat perjuangannya. Perjuangan untuk kami, anak – anaknya, yang katanya harus lebih baik darinya. Rasanya ingin sekali memnyimpan tetesan demi tetesan keringatnya, agar semua orang tahu. Setiap tetesannya itu sangat berharga dari apapun.
Ku kecup tanngan kanannya, ku ucapkan salam layaknya seorang muslim yang selalu mengucapkan salam pabila bertemu dengan muslim yang lain.
“biar ku bantu bu” aku menawarkan diri. Tapi ibu tetap menjinjing keresek hitam yang berisi kue yang masih banyak karena belum semua laku terjual. Ku intip dalam lubang keresek yang sedikit menganga karena penutup kue dari kertas koran bekas sedikit terbuka. Suaranya begitu peluh, saat aku mendengar penolakannya atas tawaranku. “pulang saja, siapkan makan siang untuk adikmu, jangan lupa sembahyang” ibu mngakhiri percakapan kami dengan berjalan mengambil belokan jalan yang berbeda untuk meneruskan berjualan.
Seperti biasa, aku memasak mie untuk makan siang kami. Biasanya ibu pulang pukul 3 sore. Jika tak ada bahan untuk memasak. Makanan yang aku suguhkan untuk ibu sehabis pulang berjualan pun hanya mie atau telur mata sapi. Kami memang hidup sebatang kara di desa ini. Kakek adalah anak tunggal dari buyut kami, dan nenek aku tak tahu keluarga nenek ada di mana. Maka dari itu, tak ada satu orang keluarga pun dari ibu yang bisa membantu kami saat kami kesusahan.
Setelah mengerjakan pekerjaan rumah, aku berbaring dikasur yang telah berbunyi “krreeeekkkkekkkkkkkk” seakan memberitahuku bahwa dia kesakitan jika aku naiki dan merengek minta pensiun dari tugasnya. Kedua tanganku kulipat dibawah kepala sembari melihat langit-langit kamarku.
Kugantungkan cita-citaku di langit-langit kamarku yang tertutup atap tua rumahku, berdebu, bersarang laba-laba, gelap, tempat tikus bersarang dan kadang suara “gedukkkkk......”menemaniku saat aku memejamkan mata untuk tidur malam menandakan seekor kucing yang berlari mengejar tikus. Ingin rasanya, ku gantungkan cita-citaku di langit biru sana. Diatas awan. Di lapisan atmosfer bagian eksosfer agar aku dapat bergerak bersama molekul harapanku.
            Akhirnya, saat ibu pulang. Ibu merebahkan badannya di kursi ruang tamu yang mengeluarkan suara rintihan yang sama seperti tempat tidurku. Selesai solat, barulah aku memberanikan diri menanyakan pena wasiat itu. Sambil aku siapkan makanan untuk ibu, ku buka percakapanku dengan obrolan yang agak ringan. Berbasa basi. Berharap semua rasa penasaranku terjawab dengan lunas hari ini tanpa menyicil ataupun mengutang. Inilah waktu yang tepat aku menyisipkan pertanyaan tentang pena wasiatku.
“ia tak pernah mengeluh dalam keadaan apapun. Saat itu, setelah lulus SMA, kakekmu setuju jika ibu  menikah dengan ayah” ibu mengawali ceritanya sambil meletakkan gelas di meja.
            Rasa benci dan amarah membaur menjadi satu dalam wadah hati ini. Tak habis pikir, jika apa yang diceritakan ibu benar adanya. Hujan pun mendiris rumput yang telah menguning. Ku lihat dijendela tua, dikejauhan sana ada sesosok ayah. Ayahku. Ditempat yang tidak aku ketahui, mungkin jauh atau dekat. Dalam balutan luka ini, dalam balutan benci dan amarah ini, aku masih berharap pada hal yang mungkin akan sia-sia jika diharapkan.
Isi pena telah kering seperti sumur hati ini yang telah kering karena sudah lama tak pernah terisi air kasih sayang ayah. Setegar apapun aku didepan adikku. Padahal aku rapuh didalamnya. Aku ingin seperti mereka yang punya Ayah. Aku ingin ayah. Hanya ayah tak ada yang lain.
Sakitku semakin terasa ketika pelajaran bahasa Indonesia. Saat itu, Ibu Ina menyuruhku membaca puisi berjudul ayah. Sunyi, senyap, hening, dan belasan mata pun memandang hanya padaku. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Merasa semua kejadian di detik ini adalah memang telah disuratkan. Disurtakan oleh Tuhan dalam naskahnya, naskah kehidupan berjudul Adita, namaku.
Ku pejamkan mata, ku tarik napas dan memberanikan diri mengeluarkan sebuah kata yang sangat sakral bagiku. Kata “ayah” yang terakhir kali kuucapkan pada usia 5 tahun. Rasanya jarum jam berdetik sangat lambat. Membiarkan aku kaku membisu seperti patung liberty yang menggegam sebuah buku berisikan puisi dan mengacungkan sebuah obor, obor bathin kemarahan yang semakin membara ketika aku harus membacakan puisi suruhan guruku. Ingin rasanya ku bakar buku itu dengan obor yang ku genggam jika aku patung liberty. Sayangnya aku bukan patung, aku dalah mahluk yang dipatungkan oleh waktu dan keadaan.
“a....a...ayah” dag dig dug hatiku mengucapkannya.
“adit ?” Ibu memberi kode untukku bergegas membacanya.
Aku siap, gumamku dalam hati.
            Aku terdiam beberapa saat. “aku tahu, mungkin itu menjadi sebuah beban bagimu mengucapkan kata ayah, yakinlah ada Adita yang lain di luar sana dan ada Aditya lain di luar sana” Siti memelukku, sedikit menghapus bebanku saat itu. “ terimakasih Siti, aku merasa semua membicarakan aku” ku bisikan pada telinganya. Dia melepas pelukanku dan berkata “ hahaha... tenang, itulah resiko menjadi selebriti sekolah”. Dan kami pun tertawa lepas.
            Lagi lagi hujan mendiris rumput kuning, ku amati, kali ini ia memberikan beberapa tetesan embun di ujung daun tanaman sekolah kami. “ hati-hati, hari ini hujan” ibu memberi nasihat, kata itu yang aku ingat di sekolah.
“kak, apakah yang diceritakan ibu tempo hari ?”, Aditya bertanya. Bagaimapaun dia harus tahu, tak boleh ada satu pun yang harus aku sembunyikan lagi. Tentang ayah. Meninggalkan kita dan menitipkan satu pena yang bertuliskan nama Adita Lestari. Namaku.
Ayah mungkin tinggal bersama keluargannya di kota. Bersama paman dan bibinya yang tinggal disana. Karena saat ayah melamar ibu, yang menemani ayah adalah paman dan bibinya yang ibu pun tidak tahu keberadaan keluarga ayah dengan jelas.
Kuceritakan hal itu dengan perjanjian jari kelingking yang kami lakukan sebelumnya di rumah, bahwa setelah Aditya tahu, dia jangan pernah bertanya lagi tentang ayah padaku.
            Siang hari, ketika bel istirahat berbunyi. Aku bergegas pergi menuju perpustakaan. Perpustakaan adalah tempat pertama yang aku kunjungi sebelum pergi ke kantin untuk menjajakan kue. Selain berjualan kue di kelas, aku pun biasa berjualan di kantin. Untung ibu kantin tidak pernah keberatan jika aku ikut berjualan disana. “buku apa yang kamu cari?” tanya Indra padaku. Adik dari menantu Pak Jumrah ini memiliki perangai yang berbeda dari saudaranya. Umur mereka terpaut beda 2 tahun. Aku malu, jika aku menatapnya. Kupalingkan mukaku dan menunduk mencari buku-buku di rak tua dengan tangan kanan yang gerayangan sibuk memilah milih
“hei Adit, apakah kau mendengarkanku?” memegang pundakku. Tentu saja, aku mendengarnya. Suara yang tak asing lagi bagiku, ketika ia memanggilku saat kelas 1 SMA dan memberiku surat cinta dari kakaknya yang sudah tamat SMA. Padahal, aku berharap itu adalah pertemuan pertama dan terakhir aku dengannya. “eh, Indra” aku tersenyum.
“buku apa yang kamu cari?”
“buku sastra Dra”
“oh ya, kamu masih ingat aku, kita sesekolah, tapi baru kali ini kita bertemu lagi berdua di perpus”
“ya hhhhhhmmmmm”
“kakak iparku sedang mengandung anak keduanya”
“o ya?”
“ya, bagaimana jika dahulu kamu menerima cinta kakakku, mungkin kamu pun sama dengannya. Hahaha” dia tertawa dengan kerasnya
            Sungguh tidak lucu bagiku. Aku merasa zaman ini kembali ke zaman Ibuku yang masih gadis. Indra bercerita, lahan ayahnya kini semakin maju semenjak kakaknya tak melanjutkan sekolahnya untuk kuliah di kota, karena kakaknya konsentrasi membantu ayahnya. “sebenarnya ayah menyuruhku untuk menikah setamat sekolah nanti, tapi aku menolaknya. Aku ingin terus sekolah. Ayah merasa berat mendengar pilihanku unuk melanjutkan sekolah. Maka aku pun akan membuktikan, tanpa biaya dari ayah nanti, aku tetap bisa kuliah”. Itulah sebabnya anak juragan ini selalu terlihat oleh Siti menjadi kuli panggul di pasar. Dia bekerja kasar, tanpa sepengetahuan ayahnya. Karena jika ayahnya mengetahui, tamatlah riwayatnya.”jika ayah ku tahu, maka aku telah menurunkan derajat dan martabat keluarga juragan” ujarnya sambil duduk disampingku dengan kepala menunduk seperti memikirkan sesuatu.
            Sungguh teguh hatinya. Seorang anak juragan yang mau bersusah payah menentang pikiran ayahnya yang primitif. Maklumlah, di jawa sebagian masyarakat desa memegang teguh budaya pemikiran terdahulu. “ hidupku seperti sinetron ”dia mengakhiri obrolannya denganku dengan suara yang semakin mengecil tak terdengar karena menjauh pergi.
            Kejadian itu masih terbayang dalam benakku. Pada langit-langit kamarku kuceritakan semuanya. Ada yang lain, yang berbeda dan serupa tentang cita-cita. Akhirnya, adan duhur berkumandang, aku mengambil air wudhu dan bersiap sembahyang. Mengadu padaNya tentang pelajaran yang aku dapat dari seorang anak juragan bernama Indra.
*****
            Pagi datang tak ditemani hujan. Hari itu Aditya tidak masuk sekolah seperti biasanya. Adikku ini terkena demam. Akibat dua hari yang lalu hujan-hujanan.
            Di sekolah, bu Ina memanggilku ke ruang guru. Karena sudah 3 bulan aku belum membayar iuran sekolah. Aku mengerti padanya. Mungkin beliau tidak mau membuat aku malu di kelas. Karena hanya aku yang menunggak paling lama. “ia bu, maaf. Akan ku beritahu ibu, agar lekas membayar jikalau ada rizki lebih “ lirihku. “Maaf, ibu tidak bisa membantumu lagi” ujarnya. Ibu Inalah yang dulu pernah menolong aku saat pembayaran iuran. Ia yang memakai separuh uang gajinya untuk iuranku. Barulah jika ibuku mempunyai rizki yang lebih, aku membayar uang iuranku pada bu Ina.
            Menurutnya, aku adalah salah satu siswa yang berprestasi di kelas. Meskipun aku tahu, aku tak pernah masuk ranking sepuluh besar.
            Bu Ina, wali kelasku. Beliau sangat perhatian dan ke ibu-ibuan. Kebijaksanaannya tidak menggambarkan umurnya yang masih muda. Parasnya seperti putri mahkota dan sikapnya yang ramah tak kan menyangka bahwa dia adalah salah satu anak juragan juga di desa ini. Padahal sudah 3 tahun dia belum dianugrahi seorang anak. Jam sudah menunjukan saatnya istirahat, semuanya berjalan seperti biasanya. Namun, ada yang berbeda kali ini. Saat aku menemukan sebuah koran lokal edisi minggu ini yang memuat pengumuman lomba menulis esai kebudayaan, dan ternyata akulah yang menjadi pemenang, di situlah seakan takdirku berkata lain.
            Meskipun sudah lama, aku tidak pernah menulis surat lagi untuk ayah, aku tetap mencintai dunia tulis menulis. Hingga aku lupa waktu ketika aku sedang menulis, entah itu cerpen ataupun puisi. Tak pernah kupublikasikan semua karyaku. Karena ini sekedar hoby. Tapi entah ada angin apa, satu minggu yang lalu, aku mencoba mengirimkan karya tulisku itu. Sekedar rasa ‘iseng’ saja aku menemukan koran lokal edisi yang lalu di perpustakaan.
            Pelangi seakan hidup di kutub, dan aurora seakan hidup di tropis. Semuanya menjadi terbalik. Menjadi yang lebih baik dari metamorfosisnya. Lomba esai yang aku ikuti, membuat aku semakin ketagihan untuk mengirimkan semua karyaku yang amatiran.
Lambat laun, aku menjadi salah satu penulis esai termuda di kantor koran lokal itu. Aku belajar dari seniorku yang tidak pernah sungkan membagi ilmunya. Meskipun aku magang, aku sudah memiliki penghasilan untuk ibu dan adikku. Aku memang seperti ayah yang meinggalkan ibu dan adikku dengan bekerja di kota. Tapi aku tidak seperti ayah yang seutuhnya tidak pernah memberi kabar pada ibu dan adik. Untunglah, karyawan redaksi koran lokal ini selalu membantu aku jika aku dalam kesusahan.
Saat aku mencoba membuat cerpen dan kukirim pada salah satu perusahaan pembuat novel dan cerpen, cerpen aku pun diterima serta siap diluncurkan setelah menjalani proses editing selama 4 bulan.
            Aku yakin, kini cita-citaku tak tergantung lagi di langit-langit kamarku. Mungkin ia telah menemukan sedikit celah dari genting atapku yang bolong untuk kabur dari kurungannya. Dan mungkin ia sedang berayun bersama alunan angin, bersama titik titikan hujan, bersama tetesan embun, bersama alam semesta di luar sana.
Tuhan memang telah mempersiapkan segalanya, hanya perlu waktu yang tepat untuk semuanya terjadi. Buku ku meluncur dipasaran, saat bedah buku, dua orang berpakaian hitam dan satu kakek mengahpiriku dan berkata “kaulah cucuku Adita Lestari, anak dari anakku Denis Adita Lestari seorang petani desa yang telah tidur lelap dalam pangkuanNya”. Teka-teki pena wasiat akhirnya terpecahkan.


Minggu, 18 September 2011

Sengkar

entahlah, aku teringat sengkar ini..
mempertemukan kita dalam pandangan kosong
yang aku bisa hanya berkata 'bisa' tanpa terbiasa bahkan mencoba
separuhnya bergamat dengan riang karena ini mengenang
menusuk serta menghunuskan jarum kaput yang akhirnya tertinggal di tangan
suatu saat, berakhir pula pendongeng menyenandungkan dongengnya
menyeret halus pikiranku untuk bangun dari negerinya dan kembali pada yang nyata
membangunkan aku, memberi waktu untukku terpaku pada negeri dongengnya
bersadau, menelusuri danau menyendiri..
mengingatkan aku pada kita dalam rona senyum
musim ini akan berbeda, dengan musim kita yang selalu bersemi
semuanya menjadi suratan
seperti atom yang ditakdirkan menjadi partikel terkecil di dunia ini
seperti jati yang meranggas di kemaraunya
dan seperti embun yang jatuh pada ujung daun
sengkar kita menghanyutkanmu bersama arus danau..
menjadi kehidupan dunia lain antara kita yang menggenggam jari jemari terakhir kalinya
tanpa berkata selamat tinggal

HATI

hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati 
HATI hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati
hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati HATI
hati hati hati hati hati hati HATI HATI HATI hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati
hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati hati HATI HATI HATI hati hati hati hati hati hati hati
dimana HATI ?

Senin, 05 September 2011

17 Juli 2011

 10 :39

ketika berada di satu titik
keseimbangan memang diperlukan
ketika semua menoleh kebelakang, untuk berkata selamat tinggal
aku masih terpaku pada satuhal
ketika yang lain, hanya ingat pada dirinya
aku ingat pada yang lain, aku ingat...
ketika semua tersenyum, aku tersenyum -topeng (lagi)
aku merasa teralu muda untuk semua hal yang tidak ingin aku ketahui.
tahukah semuanya menyakitkan
satu kesedihan selalu memberi rasa kesepian
satu kebahagiaan selalu hilang dengan cepatnya
dan aku tahu, mungkin apa yang aku rasa, aku terlalu perasa !
dan ketika aku tidur untuk yang terakhir kalinya, aku harap jangan pernah ada yang seperti aku...

Bagiku

  • Hanya yang dari hatilah sesuatu yang sederhana terlihat indah.
Hal konyol yang pernah kau lakukan mungkin terlihat sepele jika sedang dilakukan. Namun, jika kau mengingat hal konyol yang pernah kau lakukan itu, dirimu tersenyum sendiri dan menikmati kekonyolanmu.

  • Langit biru yang indah diselimuti awan putih yang lembut.
Hal terindah yang pernah kupunya adalah seseorang yang datang dan pergi secara silih berganti melindungi aku seperti awan yang menyelimuti langit biru.

Jumat, 02 September 2011

Sebelas dengan Satu

31 agutus 2011
17:56

Buku berjilid kusam
Bersimbol fisik yang tua
Kubuka perhelai, mengingatkan aku satu waktu
 
Tahukah, setiap kali berusaha membaca
Yang ku lihat hanyalah coklat
Legam kehitam hitaman

Piringan hitam melengkapi keadaan
Menambah suasana seakan silam
Namun tak kelam

Aku ini terlalu muda atau memang aku yang tak siap
Bukan hanya aku yang melihat petunjuk yang harus dipecahkan
Memutar otak, memainkan logika

Salah semua, yang aktif hanyalah intuisi
Subconcisious mind mengirimkan sinyal untukku
Terhanyutlah aku kedalam ingatannku

Sebelas itu adalah tahunnya
Tahunku, mengingatnya
Satu itu adalah aku
Untuk aku yang hidup dengan satu penopang

Tersenyum ku tutup buku
Paradigma menjadi berbeda
Tegarku sekarang hanya untukku satu,
Satu orangku, ibu

Kamis, 18 Agustus 2011

17 Agustus 2011

untuk yang kesekian kali
ini tentang sabotase diri
tentang penimbunan rasa
sesuatu yang membuat semuanya terasa sesak

dini, aku tenggelam dalam air yang tenang
yang kukira, memusnahkan dahaga

tapi apa?
salah untuk yang kesekian lagi
air itu menghanyutkan aku dari dangkalnya sebelum palung

sore itu, matahari melambaikan tangan perpisahannya
serta mengucapkan selamat tinggal dengan pancarannya yang kuning keoren orenan

tapi apa?
nampaknya aku tidak sepenuhnya ikhlas
menyambut sang dewi malam

raja siang memberi aku keberanian melihat segala sesuatu dengan jelas,
namun sang dewi malam membuat aku ketakutan terhadap apa yang aku lihat -semu

menjadi geganat yang siap meledak jika di injak adalah aku
tapi aku berupaya ...
berhias memakai topeng senyuman serapi mungkin
berharap tidak akan pernah luntur walau di timpa air langit yang jatuh

penyabotasean ini memberi sedikit kesakitan
sakit yang menyesakan

sakit ini menjadi siklus yang harmonisasinya tidak stabil sejalan dengan arah kejujuran yang harus kita ungkapkan sepahit apapun

Jumat, 12 Agustus 2011

cerita

untuk apa bercerita?
hanya aku yang jatuh
kenapa yang lain tidak?

seringlah aku, bahkan selalu
berusaha kabur dalam hujan deras dan petir
berteduh dihatinya
tidak membuat ketenangan

cengeng, hujatnya
ayo, rasakan apa yang aku rasa!
deras hujan selalu ada dikehidupan
cerita ini tak penting untuk diketahui

hanya keindahan dan kebahagiaan yang aku goreskan pada mereka
dikertas putihnya bersinar seperti matahari
padahal kertasku hitam kelam seperti mendung
yang akan dijatuhi air deras

cerita bahagia, sukarela ku bagi
cerita dukaku, biarlah aku
siapa peduli, masuk telinga kanan keluar telinga kiri...
cecarku pada mereka !

Senin, 08 Agustus 2011

Buncah

aku seakan dikejar sang waktu yang selalu berusaha mendewasakan aku.
daun yang menguning jatuh berguguran, pertanda waktu menakdirkannya untuk meranggas dari tumpuannya.
alam ini telah membuat perjanjian, yang isinya semuanya telah tersuratkan dan tak kan bisa berlari dari sang waktu.
ini adalah tentang pengertian.
mengerti dan dimengerti...
memahami dan dipahami...
tapi semuanya tak sejalan dengan sang waktu.
waktu itu membuncahkan aku,
obat penenang yang aku punya adalah do'a, meminta Tuhan mengampuni aku karena waktuku.
riwayatku mengatakan memburuk, tapi hasratku mengatakan membaik.
bermaksud tak ingin diketahui, tapi mereka mungkin telah mengetahui.
mematung, bisu bagai tihang tinggi yang menjadi saksi atas aku, atas waktuku, dan atas perbuantanku.
semuanya telah membuncahkan aku, mengundang rasa bersalah dan penyesalan lagi, yang sebenarnya aku, waktu yang aku kumpulkan untuk menghapus riwayatku yang kusam terbukukan oleh waktu.
tapi Tuhan, ini terulang lagi lebih dari kesekian kalinya.
aku kalah lagi dengan aku, waktuku, perbuatanku.
semampuku menjaga buku baru, akhirnya tercoreng lagi.
ini bulan putih, tapi aku malah menggoreskan sesuatu yang hitam.
ini bulan suci, tapi aku malah menggoreskan sesuatu yang kotor.
angin pun sepertinya sengaja membisikan sesuatu yang lembut ke telinga mereka.
malam itu, aku memejamkan mata. sengaja agar aku tak tahu, bahwa aku bermimpi buruk dalam selimut dingin gelapnya malam.
bohong, itu nyata.
siang seperti tak mau membukakan selimut dingin itu.
Tuhan.... aku benar-benar terbuncahkan.
aku katakan dia penyebabnya, dia obat yang menjadi racun.
kesakitanku sembuh karena dia, tapi aku overdosis olehnya.
sebenarnya Tuhan itu dekat, melebihi urat nadiku. 
dan hukum alam itu mengiringiku untuk menguji imanku.
Tuhan, ampuni aku..
hambaMu ini yang selalu berbuat salah dan khilaf 'disini' hanya hidup sementara waktu.
hamba ingin kelak 'disana' hidup selamanya yang abadi dengan ketenangan tanpa kebuncahan.
Engkau yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemurah, Maha Pengampun kabulkanlah doa'aku -obat penenangku.
amien......



Jumat, 05 Agustus 2011

Agustusku

selamat tinggal juliku !
ku ucapkan dengan nada lirih dan berharap agustus memberiku kekuatan agar aku terus berharap pada hal yang ingin aku capai tentunya.
harapan dan harapan itu, selalu aku jaga dan aku rawat agar tidak layu bagai bunga yg seharusnya mekar pada waktunya.
sampai saat ini, aku tak habis pikir dengan sikapku.
mungkin aku terlalu banyak mengundang masalah yang sebenarnya sama sekali tidak ada masalah.
entahlah cukup aku saja yang mengetahui sebenarnya jiwaku ada dimana. dan perlu kalian ketahui, sebenarnya aku berbohong tentang tempat keberadaan jiwaku. sama sekali aku pun tidak tahu dan berusaha semampuku untuk mencari jiwaku.
gundah. itu yang selalu aku rasa. berusaha bersikap seolah olah ada sosok yang menemaniku di saat aku merasa sepi di tengah keramaianku.
aku hanya bisa mengasihani diriku sendiri.

Selasa, 19 Juli 2011

Tapi

tapi kamu tidak suka ketika harus memilih.
tapi aku tidak suka, kenapa harus selalu melibatkan perasaan seseorang?
tapi aku tidak suka, ketika aku kalah menyimpan semuanya, yang bisa aku lakukan hanyalah menangis.
tapi aku tidak suka ketika hal yang aku suka ditentang orang yang aku sayangi.
tapi aku tidak suka, kenapa harus aku yang mengalami begitu banyak hal yang tidak aku suka?
tapi aku tidak suka, aku menjadi seseorang yang terlihat egois.
tahukah semuanya?
semuanya berasal dari rasa kehilangan yang amat mendalam.
setahu ku apapun yang terangkai indah adalah sebuah cerita kesedihan.
tak pernah aku merasa kebahagiaan dapat merangkai kata menjadi sebuah kalimat yang  indah.


bolehkah aku mengeluh?
aku hanya ingin mengakui sedikit saja tentang aku sebagai manusia.
aku makhluk lemah dihadapanNya.
ketegaranku, ketaqwaanku, kesabaranku, kepercayaanku terhadap apapun yang Dia janjikan, aku serahkan semuanya.

"detik ini, menit ini, jam ini, hari ini, hingga matahari rehat dari tugasnya, aku tak bisa menggambarkan perasaan yang aku rasa.
aku tak bisa mengukur apa yang aku rasa.
aku tak bisa menerka apa yang aku rasa.
entahlah semuanya terasa campur aduk.
aku hanya bisa meminta maaf, sebagai aku makhluk Tuhan yang paling perasa"

dan ini tentang pilihan, aku atau dia?
jika aku berangkat pada beraduan yang entah dimana letaknya, aku atau dia yang pergi?
semuanya tak dapat dibandingkan, aku dan dia berbeda.
aku yang kau sayangi atau dia yang kau cintai?
cukup, semuanya akan tahu jika waktu harus mengulurkan jawabannya.
maka lebih baik semuanya pilih dia dan aku pergi.
di kejauhan tak kan ada lagi rasa "tapi aku tidak suka".
dan tenanglah semuanya baik-baik saja selama aku masih percaya padaNya

Senin, 18 Juli 2011

Jauh

terlalu jauh ku ceritakan awal mulanya
mungkin langit dan bumi yang memberi jaraknya
seperti air sebagai sumber kehidupan
aku merasakan hembusan nafasmu sebagai kebahagiaan
terlalu dini jika ku bukakan, sebagaimana kejujuran terkadang menyakitkan
bukan keadaan yang harus disalahkan
bukan aku atau pun kamu
bukan kita atau pun mereka
tapi ini hanyalah sebuah skenario kehidupan

tahukah kerinduan pun adalah jarak
yang seharusnya kupagari tinggi
namun rindu selalu saja mengetuk rasaku terhadapmu
inilah menjadi ambivalensi yang aku pertanyakan
teringat masuk ke dunia yang tak aku kenal
ternyata hiduplah dalam kebahagiaan -semu
berapa kali kita terjatuh bersama
bangun dari mimpi kehidupan
saat ku tahu semua hanyalah kesalahan
berputar kembali pada satu poros
keseimbangan kita akhirnya tergoyahkan jua
bukanlah aku yang menjauh
tapi kamu yang teralu jauh masuk kekehidupan
yang jerat dan perangkap yang kita pasang malah jadi bumerang

Minggu, 10 Juli 2011

Apa susahnya ?

kenapa ada hal yang mempersulit segala sesuatu hal yang mudah ?

Pohon

jangan sepelekan aku.
bagimu aku hanya anak ingusan yang belum tahu apa-apa tentang hidup.
kau egois dengan umurmu yang mengecap tak pernah salah dalam melangkah.
bukankah kau manusia ?
pastilah tanpa aku ketahui pun kau punya seonggok dosa. aku berani melakukan hal apa pun yang aku mau. sombong. memang itu, aku terhadapmu. jangan pernah kau pikir, aku tak berdaya merengek meminta memohon bahkan tergeletak kepalaku dengan kaki sejajar terhadapmu demi secuil kebahagiaan.
bukan aku yang menumbuhkan pohon dendam ini. tapi kau. yang melempar benihmya di ladang hati, kau rawat, kau jaga, hingga tumbuh menyakitimu sendiri. perih, cadas, luka yang kau dapat dari ladang yang kau jaga.
rasakan. dan kau berteriak.
tak ada hati untuk menolehmu bahkan tersenyum padamu. sudahlah aku memang durhaka pada apa pun. itu ucapmu.
astaghfiruloh Tuhan, dendam ini menyakitkan aku jua. aku di racun olehnya dan untuknya.
aku ingatkan diri. siapa aku?
jarum yang ditumpuki jerami penuh dalam ruangan yang luas, yang berpeluang kecil menemukannya itu adalah aku.
sementara itu, setiap gambar kabah yang aku lihat dalam solatku, menebang pohon dendam dengan sendirinya.
lepas dari itu, ku lihat kau, seakan terjadi keajaiban. pohon dendam tumbuh lagi dengan tinggi, kuat dan kokohnya sampai tak terlihat bekas tebangannya.

Salah satunya

kau di paksa untuk memilih. keduanya hidup dan berarti bagimu.
paksaan ini, membuatmu makin tertekan.
ketertekananmu semakin membuatmu gundah.
kali ini gundahnya ingin menyelimuti mu dalam tidur.
ternyata dia tak mau melepaskanmu bangun dengan relaxnya.
aku senang, selimut gundahmu setidaknya menahanmu untuk beberapa waktu.
dan kau, aku. tahu. waktu padahal kan terus berjalan.
selimutmu menyitanya.
senyum setan terpancar dari bibir.
hatiku meronta melawan.
rupanya nurani tak menghendaki.
ini pertarungan setan dan malaikat.
tapi, aku ingin kau cepat memilih saat kau di selimuti gundahmu dari ketertekananmu.
jawabanmu adalah kuncinya.
aku atau mereka ?
dan itu cukup.
membebaskanmu dengan kehilangan salah satunya.

Selasa, 05 Juli 2011

Adaptasi

beradaptasi adalah proses.
semua hal pasti ada prosesnya tepatnya memilki proses. proses inilah yang tak bisa kita hitung dengan jari.
semuanya tidak ada yang tahu, proses itu akan berhenti kapan dan finish di tujuannya.
di dunia ini bagi ku tak ada yang instant -sekali pun memasak mie instant tetap saja membutuhkan proses.
kali ini, aku harus bergelut dengan perasaan ku sendiri.
aku bosan, aku cape mengatakan hal yang sama di tempat yang berbeda.
akhirnya pun yang menang adalah keadaan, dan aku disini kalah dengan diriku sendiri.
air mata langit, aku suka. aku jadikan kedok senyumanku untukku beradaptasi.
sebagian orang membencinya, tapi aku ?
aku menyukainya. aku tahu, seutuhnya air mata langit itu sedikit merepotkan orang yang akan beraktifitas.
setidaknya, mereka tidak sadar, setiap tangisan langit adalah harapan.
ya harapan baru layaknya palngi yang muncul dengan mejikuhibiniunya.

beradaptasi adalah pemaksaan, pemakssan keadaan yang telah di takdirkan.
aku kehilangan. sesuatu. yang biasa ada di hari hariku.
kenapa aku harus terbiasa dengannya di hariku ?
jika saja tak terbiasa, aku tak akan merasakan kehilangan.
kehilangan inilah yang menggerakan hatiku secara paksa untuk beradaptasi.
ayolah, aku yakin aku bisa.
bisa beradaptasi dengan dunia di luar sana, yang mana aku tahu mungkin kejamnya melebihi air mata langit yang turun bersama suara bentakkan petir.
hari terakhir ini, aku akan pergi.
pergi dan beradaptasi tanpanya.

Pelajaran Baru

kemarin, atau hari-hari sebelumnya -yang aku lupa itu kapan, ada pelajaran baru yang hidup berikan untuk ku.
di luar sana, ada dunia kecil yang sebagian orang mungkin tak memerhatikannya.
ketika aku berada di  toko buku, aku tertarik pada sebuah buku.
banyak hal yang aku dapat dari buku itu. 
buku itu memberi tahu ku tentang kehidupan lain yang ada di sekelilingku.
kehidupan yang mungkin sebagian orang atau bahkan banyak orang yang melecehkan atau lebih dari melecehkan.
kita tahu, Tuhan menciptakan kita berpasang pasangan.
seperti malam dan siang, baik dan buruk, serta laki-laki dan perempuan.
tapi  menurutku seutuhnya dunia itu tidak ada -siapa orang pertama yang menemukannya atau membangunnya, dunia itu bangun dan berdiri sendiri.
bukan salah mereka, kenapa mereka hidup di dunia itu ?
kenapa mereka terjebak di dunia itu ?
dan kenapa mereka cenderung menetap di dunia itu ?
aku hanya bersikap netral dalam hidup ini, dalam dunia mereka dan begitu pun dalam dunia ku.
aku tak menyalahkan mereka yang hidup disana, dan aku tak membenarkan untuk mereka yang hidup disana.
hanya saja, tentang mereka dan dunianya aku jadikan ilmu untuk ku.
aku hargai mereka, bahwa mereka ada dan akan selalu ada.
aku baca, berbagai cerpen tentang mereka dan tentu tentang dunianya.
aku rasa semua tidak bisa di benarkan atau pun disalahkan.
karena yang pantas menghakimi seutuhnya hanya Tuhan, aku sebagai manusia hanya pantas menilainya saja -tidak lebih.

Sabtu, 02 Juli 2011

Stuck in the Moment


Keluh Gerimis

pucuk-pucuk tembakau menengadah kuncup meradang kelabu. menangkap bias-bias asa pada kelopaknya berjatuhan. dan kau masih mengabut dalam bayang-bayang luka nganga. mencadas, menerjal, membelukar, dan kian meranggas menghunjam matahari.

pada sebuah senja yang gelisah, lelah kian larut dalam relung gerimis mengeluh, menunggumu di istana paling gaib itu, sedang lembayung senja enggan membenamkan ronanya, menyaksikan kelepak sayapmu mengehempas naluri ilalang yang berjingkrak-jingkrak menggapai cakrawala.

tak ada yang lebih mewahyu daripada keluh gerimis yang menjelmakan senja menjadi lautan air mata.

Hujan Dan Kenangan

Aku ingin kau mengingat hujan ini lagi, rama
hujan yang telah membawa kita pada kesepian yang nyata
tentang doa-doa yang terangkai panjang dalam lingkaran minda
juga harapan –harapan yang seluas semesta
aku ingin kau mengingatnya, rama
seperti aku telah mematrinya pada kehidupanku setelah pertemuan antara kau dan aku
bukankah hujan ini jua yang telah menunda langkah-langkah kita pulang ke rumah?
hingga pada satu tempat yang tak pernah kita fikirkan sebelumnya, kita bertemu
hujan ini jua yang mengantarkan kita untuk saling memahami bahasa mata
ketika itu
aku ingin kau mengingatnya, rama
sebagai kenangan yang bisa kau dongengkan untuk anak dan cucumu kelak
menjelang tidur
atau hujan begini mengguyur halaman rumahmu
sedang kau dan orang-orang yang kau sayangi duduk mengelilingimu
saling canda dan berbagi cerita