----------------------------------------------------------------------------------------
Langit-Langit Kamarku
Tidurku bermimpi tentang satu masa, ketika aku telah sampai berada di peraduan ambang usia dewasa. Usia kepala 5 tidaklah muda untuk memikul beban hidup dengan satu tangan tanpa pasangan tangan yang lain. Sudah sekitar 12 tahun, ayah meninggalkan ibu. Bermaksud merantau mencari perkerjaan yang lebih layak ke kota, berujung dengan tak kunjung jua pulang ke gubuk tempat peristirahatan ternyaman untukku. Sebelum aku terlahir, menyusul dengan lahirnya adikku 3 tahun kemudian, gubuk inilah yang mempertemukan ayah dan ibu. Ketika ayah semasa bujangan, pulang bertani, selalu melewati gubuk ini, peninggalan berharga kakek untuk ibu, anak semata wayangnya.
Aditya, selalu membuatku bingung. Melontarkan pertanyaan yang sama hingga di usianya yang ke 14. “kapan ayah pulang ka!”. Memang, aku bisa menutup pertanyaan itu dengan kebohongan manis serta di balut mimik senyumku “sabar, mungkin ayah belum sukses. Jadi beliau belum bisa pulang. Yakinlah suatu saat nanti ayah pulang”.
Setiap burung yang hinggap di pohon halaman depan rumah kami pun seakan membawa kabar bahwa ayah telah lupa hartanya di desa, yang menurut siapa pun, anak adalah harta yang paling berharga daripada harta kekayaan, ya Aku dan Adit. Sedih rasanya tak terbendung, hingga suatu hari, aku selalu bermimpi tentang ayah yang tidak-tidak. Semampuku, ku hapus suudzon itu dengan mengambil air wudhu. Setiap hari, kulakukan seperti itu, meskipun aku tidak sembahyang, aku tetap mengambil air wudhu. Berharap segala prasangka burukku terhadap ayah luruh olehnya, dan hanya Tuhanlah yang tahu dimana ayah, dan bagaimana keadaannya.
Di sekolah, ku bantu ibu dengan berjualan kue di kelas. Tak seberapa banyak kue yang kami jajakan, karena yang bisa ibu buat hanyalah kue-kue kecil jajanan pasar. Begitu pun adikku, aku bangga padanya, meskipun dia seorang laki-laki, dia tak pernah malu berjualan kue. Padahal, ada saja beberapa temannya yang mengejeknya saat ia berjualan, dia bangga atas pekerjaannya yang lebih banyak menguras tenaga membantu orang tuanya sepulang sekolah dengan menjadi kuli panggul dipasar. Tapi aku bersyukur, adikku tak pernah mehiraukan cecaran mereka yang sombong akan pekerjaannya yang lebih berat dari pekerjaan adikku. Di desaku, anak laki-laki dominan bekerja sebagai kuli panggul. Mengikuti jejak ayah mereka. Sebagian kecilnya lagi berprofesi menjadi buruh tani.
Tak pernah aku melihat ibu mengeluh berkata lelah. Padahal, untuk makan saja pun kami sulit, jika uang hasil jualan kami tidak cukup membeli beras. Hanya warung bu Nanilah yang ikhlas memberikan kami untuk mengutang beras. Karena warung-warung yang lain lelah terhadap kami, yang menyanggupi membayar hutang tetapi tidak tepat pada waktunya. “ sudahlah untuk apa sekolah tinggi-tinggi, membeli beras saja masih mengutang” itulah yang selalu aku dengar dari pemilik warung yang lain. “ Adita, jika ibu mu tak sanggup membiayai mu sekolah, jangan memaksa. Lebih baik, kamu kawin saja seperti anaknya Pa Jumrah. Lihatlah, kini ia hidup bahagia setelah keluar dari bangku sekolah menengah pertamanya”. Ku jawab pernyataan bu Marni hanya dengan senyuman. “ di beri tahu, malah senyum “.
Mereka saja yang tidak pernah tahu, bahwa aku tak pernah meminta ibu untuk terus menyekolahkan aku. Bahkan dua tahun yang lalu, aku pernah diajak kawin oleh salah seorang anak juragan, yang kini menjadi suami anaknya Pak Jumrah.
Kami memang serba kesusahan, tapi kawin bukanlah jalan satu-satunya menuju kebahagiaan dengan harta yang berkecukupan menurut ibu.
Jingga datang meyelimuti langit, pertanda raja siang akan tidur di ufuk barat dan digantikan oleh dewi malam yang cantik dengan tampilan purnamanya. Pengawal malam pun mulai bermunculan berkerlap kerlip. Angin malam, berhembus membuat gordengku berayun rayun bak penari yang larut dalam lagunya. Aku pun larut dalam pikiranku, memandang langit dan berharap angin menyampaikan salam rinduku untuk ayah, jika memang beliau bernapas hingga saat ini. Memejamkan mata, membayangkan sosoknya. Seperti melawan dinginnya udara, tiba-tiba udara yang aku hirup menjadi hangat. Terasa hangat seperti dekapan ayah. Aku tak pernah lupa, pena pemberian ayah. Pena wasiat, aku menyebutnya.
Usiaku 5 tahun, belum tahu apa yang ayah berikan padaku, maka ibu menyimpannya. Itu hanya pena. Pena biasa berwarna hitam. Tapi entah alasan apa, mereka sangat menjaganya. Menjaga pena wasiatku, yang aku terima ketika kelas 4 SD.
Ibu dan ayah adalah tamatan SMA, itu yang aku tahu. Selebihnya entahlah, apalagi tentang ayah.
Benar benar gelap yang aku lihat, tak ada satu titik pun cahaya yang menunjukan jalan dari mana asal usul keluarga ayah.
*****
Sejak kelas 3 SD mimpiku hanya satu, ingin bertemu dan memeluknya serta membisikan bahwa aku telah pandai membaca dan menulis. Maka, dari dulu hingga kini, surat untuk ayah masih ku simpan. Tak pernah aku kirim, karena aku tak tahu harus kukirim kemana. Surat pertamaku, ada tepat dibawah celengan ayam yang tidak terisi uang. Kertasnya kusam kecoklatan, berbau dan usang dimakan usia. Aku tersenyum membaca tulisanku. Dulu setiap aku menemukan hal baru, ku tulis semua di kertas dan aku menjadikannya surat untuk ayah.
Semua surat yang ku tulis masih ada. Tapi surat inilah yang terspesial untukku. Karena itu adalah surat pertamaku. Surat kasih sayang yang riang meminta ayah agar cepat pulang. Harapan tinggalah harapan, makin dewasa aku, aktivitasku menulis surat pun terhenti di bangku SMA. Saat menyadari bahwa semuanya adalah kesia siaan. Maka semua suratku hanya kujadikan sebuah kenangan bergamat kerinduan.
*****
“bagus sekali pena mu dit”, Siti memuji. Pena itu terlihat Siti, saat ia mengambil penghapus kupu-kupu dari tempat pensilku. “o ya? Terimakasih”. Aku heran, karena sudah tiga orang yang mengatakan bahwa pena wasiat yang tidak pernah aku pakai itu terlihat bagus.
“ boleh aku bertanya” rasa penasaranku mulai mencuat.
“ oh tentu, apa dit ?” Siti menjawab pertanyaanku dengan nada suaranya yang lembut sambil membersihkan bukunya dari goresan tangannya yang salah dengan penghapus kupu-kupu berwarna hijau.
“ kamu suka dengan pena ini?”
“ya, aku suka. Karena tak pernah aku lihat pena seunik itu. Pena bertuliskan namamu sendiri. Sang pemilik pena. Ini desa yang tidak terpencil. Namun, untuk mengukir nama di sebuah pena bukannlah hal biasa. Mungkin hanya orang kota yang tahu, dimana tempat kesenian mengukir nama dalam sebuah pena itu”
“o ya ?”
“hhhhhhmmmmmmm, kamu aneh dit. Lantas kamu dapat pena itu darimana? Seberapa banyak sih orang yang bernama sepertimu Adita Lestari” Siti tersenyum.
“dari ayah” aku tertunduk melihat sebuah pena yang ternyata sangat istimewa bagi siapa yang memandangnya.
Siang itu di sekolah membuat aku lebih dalam memikirkan sebuah pena. Konyol mungkin. Tapi aku yakin, pena itu mungkin adalah kunci untukku bertemu ayah. Sedikit harapan datang seperti kegelapan yang ditemani setitik cahaya lilin. Dalam perjalanan pulang, aku bertemu ibu di persimpangan jalan. Ibu selalu terlihat cantik, meskipun ia berlumuran keringat perjuangannya. Perjuangan untuk kami, anak – anaknya, yang katanya harus lebih baik darinya. Rasanya ingin sekali memnyimpan tetesan demi tetesan keringatnya, agar semua orang tahu. Setiap tetesannya itu sangat berharga dari apapun.
Ku kecup tanngan kanannya, ku ucapkan salam layaknya seorang muslim yang selalu mengucapkan salam pabila bertemu dengan muslim yang lain.
“biar ku bantu bu” aku menawarkan diri. Tapi ibu tetap menjinjing keresek hitam yang berisi kue yang masih banyak karena belum semua laku terjual. Ku intip dalam lubang keresek yang sedikit menganga karena penutup kue dari kertas koran bekas sedikit terbuka. Suaranya begitu peluh, saat aku mendengar penolakannya atas tawaranku. “pulang saja, siapkan makan siang untuk adikmu, jangan lupa sembahyang” ibu mngakhiri percakapan kami dengan berjalan mengambil belokan jalan yang berbeda untuk meneruskan berjualan.
Seperti biasa, aku memasak mie untuk makan siang kami. Biasanya ibu pulang pukul 3 sore. Jika tak ada bahan untuk memasak. Makanan yang aku suguhkan untuk ibu sehabis pulang berjualan pun hanya mie atau telur mata sapi. Kami memang hidup sebatang kara di desa ini. Kakek adalah anak tunggal dari buyut kami, dan nenek aku tak tahu keluarga nenek ada di mana. Maka dari itu, tak ada satu orang keluarga pun dari ibu yang bisa membantu kami saat kami kesusahan.
Setelah mengerjakan pekerjaan rumah, aku berbaring dikasur yang telah berbunyi “krreeeekkkkekkkkkkkk” seakan memberitahuku bahwa dia kesakitan jika aku naiki dan merengek minta pensiun dari tugasnya. Kedua tanganku kulipat dibawah kepala sembari melihat langit-langit kamarku.
Kugantungkan cita-citaku di langit-langit kamarku yang tertutup atap tua rumahku, berdebu, bersarang laba-laba, gelap, tempat tikus bersarang dan kadang suara “gedukkkkk......”menemaniku saat aku memejamkan mata untuk tidur malam menandakan seekor kucing yang berlari mengejar tikus. Ingin rasanya, ku gantungkan cita-citaku di langit biru sana. Diatas awan. Di lapisan atmosfer bagian eksosfer agar aku dapat bergerak bersama molekul harapanku.
Akhirnya, saat ibu pulang. Ibu merebahkan badannya di kursi ruang tamu yang mengeluarkan suara rintihan yang sama seperti tempat tidurku. Selesai solat, barulah aku memberanikan diri menanyakan pena wasiat itu. Sambil aku siapkan makanan untuk ibu, ku buka percakapanku dengan obrolan yang agak ringan. Berbasa basi. Berharap semua rasa penasaranku terjawab dengan lunas hari ini tanpa menyicil ataupun mengutang. Inilah waktu yang tepat aku menyisipkan pertanyaan tentang pena wasiatku.
“ia tak pernah mengeluh dalam keadaan apapun. Saat itu, setelah lulus SMA, kakekmu setuju jika ibu menikah dengan ayah” ibu mengawali ceritanya sambil meletakkan gelas di meja.
Rasa benci dan amarah membaur menjadi satu dalam wadah hati ini. Tak habis pikir, jika apa yang diceritakan ibu benar adanya. Hujan pun mendiris rumput yang telah menguning. Ku lihat dijendela tua, dikejauhan sana ada sesosok ayah. Ayahku. Ditempat yang tidak aku ketahui, mungkin jauh atau dekat. Dalam balutan luka ini, dalam balutan benci dan amarah ini, aku masih berharap pada hal yang mungkin akan sia-sia jika diharapkan.
Isi pena telah kering seperti sumur hati ini yang telah kering karena sudah lama tak pernah terisi air kasih sayang ayah. Setegar apapun aku didepan adikku. Padahal aku rapuh didalamnya. Aku ingin seperti mereka yang punya Ayah. Aku ingin ayah. Hanya ayah tak ada yang lain.
Sakitku semakin terasa ketika pelajaran bahasa Indonesia. Saat itu, Ibu Ina menyuruhku membaca puisi berjudul ayah. Sunyi, senyap, hening, dan belasan mata pun memandang hanya padaku. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Merasa semua kejadian di detik ini adalah memang telah disuratkan. Disurtakan oleh Tuhan dalam naskahnya, naskah kehidupan berjudul Adita, namaku.
Ku pejamkan mata, ku tarik napas dan memberanikan diri mengeluarkan sebuah kata yang sangat sakral bagiku. Kata “ayah” yang terakhir kali kuucapkan pada usia 5 tahun. Rasanya jarum jam berdetik sangat lambat. Membiarkan aku kaku membisu seperti patung liberty yang menggegam sebuah buku berisikan puisi dan mengacungkan sebuah obor, obor bathin kemarahan yang semakin membara ketika aku harus membacakan puisi suruhan guruku. Ingin rasanya ku bakar buku itu dengan obor yang ku genggam jika aku patung liberty. Sayangnya aku bukan patung, aku dalah mahluk yang dipatungkan oleh waktu dan keadaan.
“a....a...ayah” dag dig dug hatiku mengucapkannya.
“adit ?” Ibu memberi kode untukku bergegas membacanya.
Aku siap, gumamku dalam hati.
Aku terdiam beberapa saat. “aku tahu, mungkin itu menjadi sebuah beban bagimu mengucapkan kata ayah, yakinlah ada Adita yang lain di luar sana dan ada Aditya lain di luar sana” Siti memelukku, sedikit menghapus bebanku saat itu. “ terimakasih Siti, aku merasa semua membicarakan aku” ku bisikan pada telinganya. Dia melepas pelukanku dan berkata “ hahaha... tenang, itulah resiko menjadi selebriti sekolah”. Dan kami pun tertawa lepas.
Lagi lagi hujan mendiris rumput kuning, ku amati, kali ini ia memberikan beberapa tetesan embun di ujung daun tanaman sekolah kami. “ hati-hati, hari ini hujan” ibu memberi nasihat, kata itu yang aku ingat di sekolah.
“kak, apakah yang diceritakan ibu tempo hari ?”, Aditya bertanya. Bagaimapaun dia harus tahu, tak boleh ada satu pun yang harus aku sembunyikan lagi. Tentang ayah. Meninggalkan kita dan menitipkan satu pena yang bertuliskan nama Adita Lestari. Namaku.
Ayah mungkin tinggal bersama keluargannya di kota. Bersama paman dan bibinya yang tinggal disana. Karena saat ayah melamar ibu, yang menemani ayah adalah paman dan bibinya yang ibu pun tidak tahu keberadaan keluarga ayah dengan jelas.
Kuceritakan hal itu dengan perjanjian jari kelingking yang kami lakukan sebelumnya di rumah, bahwa setelah Aditya tahu, dia jangan pernah bertanya lagi tentang ayah padaku.
Siang hari, ketika bel istirahat berbunyi. Aku bergegas pergi menuju perpustakaan. Perpustakaan adalah tempat pertama yang aku kunjungi sebelum pergi ke kantin untuk menjajakan kue. Selain berjualan kue di kelas, aku pun biasa berjualan di kantin. Untung ibu kantin tidak pernah keberatan jika aku ikut berjualan disana. “buku apa yang kamu cari?” tanya Indra padaku. Adik dari menantu Pak Jumrah ini memiliki perangai yang berbeda dari saudaranya. Umur mereka terpaut beda 2 tahun. Aku malu, jika aku menatapnya. Kupalingkan mukaku dan menunduk mencari buku-buku di rak tua dengan tangan kanan yang gerayangan sibuk memilah milih
“hei Adit, apakah kau mendengarkanku?” memegang pundakku. Tentu saja, aku mendengarnya. Suara yang tak asing lagi bagiku, ketika ia memanggilku saat kelas 1 SMA dan memberiku surat cinta dari kakaknya yang sudah tamat SMA. Padahal, aku berharap itu adalah pertemuan pertama dan terakhir aku dengannya. “eh, Indra” aku tersenyum.
“buku apa yang kamu cari?”
“buku sastra Dra”
“oh ya, kamu masih ingat aku, kita sesekolah, tapi baru kali ini kita bertemu lagi berdua di perpus”
“ya hhhhhhmmmmm”
“kakak iparku sedang mengandung anak keduanya”
“o ya?”
“ya, bagaimana jika dahulu kamu menerima cinta kakakku, mungkin kamu pun sama dengannya. Hahaha” dia tertawa dengan kerasnya
Sungguh tidak lucu bagiku. Aku merasa zaman ini kembali ke zaman Ibuku yang masih gadis. Indra bercerita, lahan ayahnya kini semakin maju semenjak kakaknya tak melanjutkan sekolahnya untuk kuliah di kota, karena kakaknya konsentrasi membantu ayahnya. “sebenarnya ayah menyuruhku untuk menikah setamat sekolah nanti, tapi aku menolaknya. Aku ingin terus sekolah. Ayah merasa berat mendengar pilihanku unuk melanjutkan sekolah. Maka aku pun akan membuktikan, tanpa biaya dari ayah nanti, aku tetap bisa kuliah”. Itulah sebabnya anak juragan ini selalu terlihat oleh Siti menjadi kuli panggul di pasar. Dia bekerja kasar, tanpa sepengetahuan ayahnya. Karena jika ayahnya mengetahui, tamatlah riwayatnya.”jika ayah ku tahu, maka aku telah menurunkan derajat dan martabat keluarga juragan” ujarnya sambil duduk disampingku dengan kepala menunduk seperti memikirkan sesuatu.
Sungguh teguh hatinya. Seorang anak juragan yang mau bersusah payah menentang pikiran ayahnya yang primitif. Maklumlah, di jawa sebagian masyarakat desa memegang teguh budaya pemikiran terdahulu. “ hidupku seperti sinetron ”dia mengakhiri obrolannya denganku dengan suara yang semakin mengecil tak terdengar karena menjauh pergi.
Kejadian itu masih terbayang dalam benakku. Pada langit-langit kamarku kuceritakan semuanya. Ada yang lain, yang berbeda dan serupa tentang cita-cita. Akhirnya, adan duhur berkumandang, aku mengambil air wudhu dan bersiap sembahyang. Mengadu padaNya tentang pelajaran yang aku dapat dari seorang anak juragan bernama Indra.
*****
Pagi datang tak ditemani hujan. Hari itu Aditya tidak masuk sekolah seperti biasanya. Adikku ini terkena demam. Akibat dua hari yang lalu hujan-hujanan.
Di sekolah, bu Ina memanggilku ke ruang guru. Karena sudah 3 bulan aku belum membayar iuran sekolah. Aku mengerti padanya. Mungkin beliau tidak mau membuat aku malu di kelas. Karena hanya aku yang menunggak paling lama. “ia bu, maaf. Akan ku beritahu ibu, agar lekas membayar jikalau ada rizki lebih “ lirihku. “Maaf, ibu tidak bisa membantumu lagi” ujarnya. Ibu Inalah yang dulu pernah menolong aku saat pembayaran iuran. Ia yang memakai separuh uang gajinya untuk iuranku. Barulah jika ibuku mempunyai rizki yang lebih, aku membayar uang iuranku pada bu Ina.
Menurutnya, aku adalah salah satu siswa yang berprestasi di kelas. Meskipun aku tahu, aku tak pernah masuk ranking sepuluh besar.
Bu Ina, wali kelasku. Beliau sangat perhatian dan ke ibu-ibuan. Kebijaksanaannya tidak menggambarkan umurnya yang masih muda. Parasnya seperti putri mahkota dan sikapnya yang ramah tak kan menyangka bahwa dia adalah salah satu anak juragan juga di desa ini. Padahal sudah 3 tahun dia belum dianugrahi seorang anak. Jam sudah menunjukan saatnya istirahat, semuanya berjalan seperti biasanya. Namun, ada yang berbeda kali ini. Saat aku menemukan sebuah koran lokal edisi minggu ini yang memuat pengumuman lomba menulis esai kebudayaan, dan ternyata akulah yang menjadi pemenang, di situlah seakan takdirku berkata lain.
Meskipun sudah lama, aku tidak pernah menulis surat lagi untuk ayah, aku tetap mencintai dunia tulis menulis. Hingga aku lupa waktu ketika aku sedang menulis, entah itu cerpen ataupun puisi. Tak pernah kupublikasikan semua karyaku. Karena ini sekedar hoby. Tapi entah ada angin apa, satu minggu yang lalu, aku mencoba mengirimkan karya tulisku itu. Sekedar rasa ‘iseng’ saja aku menemukan koran lokal edisi yang lalu di perpustakaan.
Pelangi seakan hidup di kutub, dan aurora seakan hidup di tropis. Semuanya menjadi terbalik. Menjadi yang lebih baik dari metamorfosisnya. Lomba esai yang aku ikuti, membuat aku semakin ketagihan untuk mengirimkan semua karyaku yang amatiran.
Lambat laun, aku menjadi salah satu penulis esai termuda di kantor koran lokal itu. Aku belajar dari seniorku yang tidak pernah sungkan membagi ilmunya. Meskipun aku magang, aku sudah memiliki penghasilan untuk ibu dan adikku. Aku memang seperti ayah yang meinggalkan ibu dan adikku dengan bekerja di kota. Tapi aku tidak seperti ayah yang seutuhnya tidak pernah memberi kabar pada ibu dan adik. Untunglah, karyawan redaksi koran lokal ini selalu membantu aku jika aku dalam kesusahan.
Saat aku mencoba membuat cerpen dan kukirim pada salah satu perusahaan pembuat novel dan cerpen, cerpen aku pun diterima serta siap diluncurkan setelah menjalani proses editing selama 4 bulan.
Aku yakin, kini cita-citaku tak tergantung lagi di langit-langit kamarku. Mungkin ia telah menemukan sedikit celah dari genting atapku yang bolong untuk kabur dari kurungannya. Dan mungkin ia sedang berayun bersama alunan angin, bersama titik titikan hujan, bersama tetesan embun, bersama alam semesta di luar sana.
Tuhan memang telah mempersiapkan segalanya, hanya perlu waktu yang tepat untuk semuanya terjadi. Buku ku meluncur dipasaran, saat bedah buku, dua orang berpakaian hitam dan satu kakek mengahpiriku dan berkata “kaulah cucuku Adita Lestari, anak dari anakku Denis Adita Lestari seorang petani desa yang telah tidur lelap dalam pangkuanNya”. Teka-teki pena wasiat akhirnya terpecahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar