Music

Minggu, 19 Agustus 2012

Mengenang Pak Jo

kelas kita.
kini badai datang lagi.
ruangan ini tetap sama dengan segala keluh kesah kita bercampur decak kagum seisi penghuninya dengan kebersamaan kita.
saat itu, bangku keempat dimana dua orang laki-laki tepat memandang layar komputer lipat, sontak berdiri.
disanalah kronologi, yang lain membisu dan kaku.
menjadi penonton opera perang yang menghasilkan ultimatum untuk dia yang berani berkoar pada badai.
badai memang berkuasa di kelas kita, disini gudangnya bocah.
yang membuat badai mengamuk semaunya memporak porandakan jiwa-jiwa perompak.

Pekikan penyemangat

terkadang, kita tak perlu peduli pada mereka yang mencecar kita. jadikanlah mereka penyemangat mimpi kita. buktikan pada mereka, kalau kita bisa !

Kamis, 16 Agustus 2012

Tentang Ayah dan Buku

Kemarin, baru saja aku selesai membaca novel Ibuk  dari Iwan Setyawan.
Berhubung aku tidak punya waktu banyak, untuk membacanya.
Novel yang aku beli di tanggal 21 Juli, terselesaikan kemarin. Bayangkan? Kemarin.
Bulan juli itu aku anggap bulan yang lumayan sibuk.
Makannya, baca novel ibuk, aku sempatkan di setiap ada waktu luang aja.
Maklum MABA. HAHAHA
Setiap hari bertemu quiz. Secara tidak langsung, itu memaksa aku untuk harus selalu membaca setiap dapat materi baru dari kuliah dan praktikum.
Karena UAS telah selesai, dan sekarang waktu berlibur, aku isi lagi deh sama yang namanya baca. Yup ! baca. Niat aku baca, bukan karena seutuhnya aku mau jadi penulis ya.
Aku ga terlalu ambisius tuh. Beneran deh suerrrrrrrrrrr. HAHA
Tapi aku memang suka menulis. Dan mudah-mudahan jadi penulis. Kalau pun engga jadi, kan aku sudah bilang, aku tidak ambisius.
Well, pas di hari pramuka, aku selesai baca Ibuk, aku juga beli buku baru. Asyik buku baru !
Penasaran seperti apa sih kumpulan karya mas Yunus Kuntawiaji.
Aku tau mas Kunta –sok akrab- dari tumblr.
Aku pikir, dia sendiri yang menulis semua kumpulan cerpen.
Ternyata sama temennya juga toh, mba Kinsi. Aduh aku belum follow nih hihi.
Ternyata, Taste Buds itu beneran taste banget kumpulan cerpennya.
Di tunggu lagi loh karya-karya selanjutnya mas.
Terus pasti kalian mikir, apa hubungan judul postnya aku sama cerita di atas?
Oke, langsung aja deh. Usut punya usut. Hobby baca aku itu, turun dari ayah.
Memang benar sekali.
Menurut Ibu, ketika aku selalu membeli buku baru. Berupa novel, ataupun kumpulan cerpen, itu sama persis seperti ayah.
Soalnya, waktu aku belum lahir kedunia. Lemari buku di rumah, penuh sama buku. Buku apa saja. Dan didominasi novel.
Hmmmmmmmmmm pantes, pas aku ke Perpus sekolah waktu zaman SMA dulu terus liat Roman judulnya : Atheis, serasa ga aneh aja ngeliatnya. Kaya yang udah pernah liat.
Eh ternyata, ga sengaja juga, sewaktu membereskan lemari buku –yang udah ada sebelum aku lahir, aku nemuin buku itu. Atheis.
Oh pantes Ayahku punya bukunya, makannya serasa ga aneh.Tanpa pikir panjang. Aku langsung baca buku Atheis.
Nah, nah, nah. Terus, pas pulang jalan2 ama Fanda –my new friend-, ditanya sama Om. Beli apa aja disana. Aku jawab, beli buku. Nanya lagi –kaya wartawan -_-  - genrenya apa. Aku jawab lagi, cerpen.
Om langsung bilang. Mirip ayahmu. Beli buku, hampir yang seperti itu semua.
Kata om, novel zaman dulu juga ada yang genrenya laga misteri. Mau tahu apa? WIRO SABLENG -_- . sekalian aja, dendam nyi pelet, hahaha.
Mana ada di zaman seperti ini mah atuh!.
Zaman sekarang mah musimnya cinta-cintaan. Yaiks...
Meskipun aku suka beli  buku seperti novel, tapi ga ada tuh novel aku yang pure bergenre cinta.
Secara gitu ya, aku Cuma punya 2 novel. Lah? Katanya banyak?. Iya banyak.
Tapi, bukunya kumpulan cerpen semua. Dan semua buku kumpulan cerpen yang aku punya bergenre sastra.
Mulai dari Unsoir Du Paris –kumpulan cerpen lesbian-, Kembalinya Sang Kekasih –kumpulan cerpen Khalil Gibran- dan lain-lain. Oh ya, buku Psikologi juga ada dan lumayan banyak.
Pas aku tanya ibu, mana koleksi buku ayah, separuhnya lagi entah kemana dan entah dimana katanya.
Wah, sayang sekali. Padahal kan zamannya Balai Pustaka itu bagus-bagus karya karyanya. Hehe...
Terus, ada satu buku yang nyesel banget engga aku selesaikan bacanya. Black Hole.
Bayangin, Black Hole huahuahauhua .
Bukunya bercerita tentang biografi Stephen Hawking man..... .  Pencetus teori Big Bang.
Buku itu aku baca ketika aku kelas  10 -1 SMA-, sayang sekali tinggal beberapa puluh halaman lagi, aku kembalikan buku itu pada pihak yang berwajib –penjaga perpustakaan- .
Coba kenapa? Selain lumayan sibuk, waktunya itu mepet.
Ada batas waktu pengembaliaanya.
Dulu, pas  kelas 10 sering banget nongkrong di Perpus bareng Garnish ama Asri. Aduh kangen hey !.
Sekedar liat buku, siapa tahu ada buku yang menarik, belajar bareng, atau ngobrol apa aja.
Tapi semenjak pisah ke kelas 11, udah rada jarang juga ngunjungin Perpus.
Dari situlah jejak buku Black Hole menghilang.
Faktor Perpus yang di rombak, rak buku di rapikan, semuanya di tata sedemikian rupanya. Pakai AC pula Perpusnya.
And then, ada satu buku –majalah- yang dari dulu hingga sekarang tak pernah aku lewatkan. Majalah sastra horison.
Di gramedia pun ada, harganya hanya Rp.12.500. –wilayah Tasik-
Isi majalahnya berbeda dengan isi majalah onlinenya. Menurut aku lebih menarik yang majalah biasanya. Daripada majalah yang onlinenya.
Hmmmm. Oh ya Rin, siapa tahu kamu baca postingan ini. Aku sudah punya loh buku Pujangga Mumang hehe –pamer-.
Sekarang aku lagi nyari buku kumpulan cerpen Farida Susanty –Karena Kita Tidak Saling Kenal- yang dulu aku inginkan di Tasik sampai ga jadi-jadi mulu belinya. HAHAHA :D
Kamu udah punya buku baru apa? :)

Minggu, 12 Agustus 2012

Bogor 2 Juli 2012 ditengah malam

Entah ada angin apa. Tiba-tiba aku terpikir tentang blog.

Satu pertanyaan yang jatuh dengan tanda tanya super besar. Apa tujuanku mempunyai blog? Sebenarnya mengembangkan minat menulislah, alasan dan tujuannya. Tapi, begitu banyak tulisan aku yang stuck di tengah atau bahkan mungkin diawal. Memang susah-susah gampang, dalam hal tulis menulis itu. Apalagi tentang inspirasinya. Isnpirasi itu seperti hantu. Datang dan pergi begitu saja. Kapan saja dan dimana saja.


 Tulisan juga, tidak selalu harus dari hati –curhatan-. Tapi, menurut pandangan aku, para penyair dan pujangga pun menulis dari hati. Hanya saja mereka menulis dari apa yang mereka lihat secara luas : sosial, politik, ekonomi, budaya, agama dan lebih dari itu, bukan selalu tentang cinta. Jadi tulisan mereka  tidak terlihat seperti curhat, karena diimbangi oleh logika mereka. -Bukan berarti yang menulis dari hati untuk curhat tak menggunakan logika loh. Namun, kurang seimbang saja menggunakan logika dan hati diantara keduanya-. Bahkan mereka tambahkan ramuan sihir mereka dalam mengolah kata-kata yang mereka tulis, sehingga para pembaca takjub dan tersihir dengan rangkain-rangkaian kalimat mereka yang luar biasa.


Nah, masalahnya, aku –terlihat- baru peduli hanya pada lingkungan aku saja, jadi terkesan apapun yang aku tulis seperti curhatan. Ya, entahlah apapun namanya, mau curhatan, ataupun bukan. Yang terpentinga hanya satu : aku menulis. Karena aku suka. Bagus atau tidaknya suatu tulisan adalah satu yang harus kita ingat, dimana kita tenggelam di dalam prosesnya. Menikmatinya. Dan itu lebih dari cukup.

Beberapa bulan yang lalu, sungguh aku tersentuh dengan satu judul “SESAAT UNTUK SELAMANYA” yang di tulis oleh Rini di blognya. Dia bercerita tentang seorang Bunda –yang baru dia kenal- yang mengingatkan dia pada Mamanya. Aku rasa, inilah tulisan yang seimbang. Tulisan yang menggerakan tangan dengan hati, dan memainkan kata dengan logika sehingga pesan yang disampaikannya pun aku terima dengan baik. Sungguh menarik. Betapa kuatnya cerita itu, hingga aku membacanya sampai dua kali. Kali pertama, saat aku sekedar ingin tahu apakah ada tulisan baru di blognya. Dan kali kedua, aku sengaja menyempatkan membacanya lagi. Kenapa? Karena aku merasa tak berbeda jauh dengannya. Yang kadang selalu berbeda pendapat dengan Ibu. Betapa pun seorang ibu tidak pernah –kurang- setuju dengan pilihan anaknya. Mungkin, karena mereka memiliki naluri dan beberapa alasan yang kuat yang kadang kita tidak –kurang- mengerti akan hal kekurang setujuaanya itu. Kadang juga, ada saja beberapa Ibu yang tidak –kurang- setuju dengan pilihan anaknya karena obsesinya. Aku pun sependapat dengan Rini, biasanya sinyal kata “terserah” dari seorang Ibu, yang kita tangkap adalah “jangan”. Memang benar, jika restu orang tua selalu mengiringi dalam kehidupan kita, segala sesuatunya pun akan lebih mudah. Maka dari itu, tak sedikit pula, mereka yang sukses adalah mereka yang selalu patuh menjatuhkan pilihan mereka sesuai dengan keinginan orang tua mereka. Entah itu untuk kemajuan anaknya atau hanya sekedar obsesi orang tuanya. Tak sedikit juga, banyak anak yang menuruti perintah orang tua, malah tersesat di tengah jalan pilihan orang tuanya. Kalau sudah begitu, anak menyesal dan orang tua pun tak mau disalahkan.

   Yang paling jelas, bagaimana pun orang tua kadang tidak –kurang – setuju dengan pilihan anaknya. Yang aku tahu, yang terpenting buat mereka adalah kita bahagia. Di balik ketidak setujuannya pun pasti di lima waktunya ketika mereka menghadap Tuhan, mereka selalu selipkan nama kita di doanya.

     Aku bersyukur, untuk yang satu ini, Beliau menyemangati aku. Doakan aku ya bu, apa pun nanti jadinya aku, sekalipun bukan menjadi seorang penulis. Aku tetap bisa menmbanggakan ibu di jalan yang lain. Amien 

Jumat, 10 Agustus 2012

Yang Terkasih

bagian hati ini setengah hilang
aku ingat, katanya : "sedihmu adalah sedihku, tapi sedihku tak boleh jadi sedihmu"
sebegitu egoisnya aku?

yang terkasih, bukan aku yang memilih
tapi Tuhan yang menanam aku di rahimnya

maafkan aku,