Jingga
Halo jingga, kini aku telah berada di Universitas yang telah kita janjikan bersama. Saat kita bertemu di kelas 11 ipa, ku lihat kau mencuri pandang padaku. Ataukah aku yang merasa kegeeran ?. Tapi, saat itulah takdir seakan sengaja mempertemukan kita, hingga kita menjalin hubungan -pacaran- sampai kita kuliah. Aku anggap seperti itu.Enam semester telah ku selesaikan dengan baik, semua nilai yang kudapatkan ini berkatmu. Entah dimana, aku percaya kamu pasti akan selalu mendoakanku. Terimakasih karena doamu, cita-citaku untuk cumlaude di semester pertama sebagai langkah awal dari perjuanganku dua semester lagi untuk menjadi sarjana, telah tercapai. Selanjutnya, ritual melihat fotomu sebelum mengahadapi tes apapun dan berdoa pada Tuhan tentunya, tak pernah aku lewatkan.Jingga, partikel rinduku berhamburan ke langit. Apalagi ketika langit menjadi jingga saat raja siang akan bergantian dengan dewi malam, hatiku mengatakan bahwa kamu pun merasakan hal yang sama denganku. Rindu.Karena aku tahu, kamu menyukai langit ketika jingga. “Hanya saat menjelang maghrib, aku bisa melihat jingga. Langit yang lainnya hanya hitam dan biru” gumamnya. Itulah yang kau ucapkan terakhir kalinya saat bertemu denganku, dan tanpa permisi kamu pun pergi ketika esok harinya ku lihat terpampang kata dijual di pagar rumahmu. Beribu tanda tanya berjatuhan di kepalaku. Alasan apa yang membuat mulutmu bungkam atas kepergianmu?. Meskipun begitu, aku tetap akan menunggumu. Memang sulit rasanya. Aku tidak lagi muda. Usiaku telah cukup untuk merajut hubungan yang lebih serius dengan perempuan manapun kata ibu. Tapi, naluriku berkata bahwa kamu hanya untukku. Egois memang. Tanpa aku ketahui, bisa saja kau di tempat yang lain telah bersama yang lain pula. Entahlah yang aku dengarkan hanyalah suara racauan hatiku, kata ibu. Yang terus berusaha mencarimu.Di jejaring sosial Facebook dan twitter pun tak akan pernah kulewatkan pula untuk mencari namamu. Aku akui, harapanku padamu seperti lilin kecil yang hampir padam. Yang habis termakan api. Tapi sudah aku katakan, naluriku berkata bahwa kamu hanya untukku. Sehabis sembahyang, ku selipkan doa untuk cinta pertamaku. Kamu. Dan berharap kamu jugalah cinta terakhirku. Hidup itu memang sebuah kejutan dan misteri. Tuhan telah merancang naskah hidupku dengan sedemikian rupa, yang salah satunya ada bagian dimana aku harus kehilanganmu saat kita mengikrarkan janji untuk memasuki Universitas yang sama.Diingatanku masih terekam jelas, begitu manisnya wajahmu di pesta perpisahan sekolah. Dan pesta itu adalah benar-benar menjadi pesta perpisahan untukmu dan untukku.Ketika aku tahu, kau menghilang, sebagai tentangga yang baik, ibu dan aku berusaha menanyakan keberadaan keluargamu pada pak RT. Sebegitunya ya mereka menyembunyikan dimana kamu berada. Karena ketika aku menanyakan hal tentangmu pada sekolah, jawabannya tetap sama : mereka tidak tahu keberadaan keluargamu. Malam ini aku bermimpi tentangmu. Kau mengenakan gaun putih dan meninggalkan aku. Memang benar, mimpi itu adalah bunga tidur, tapi apa ini juga merupakan sebuah pertanda?.Jingga, mimpi itu menakuti aku. Mengirimkan sinyal pengingat untukku bahwa kematian bisa terjadi pada siapa saja, termasuk kamu. Atau aku, dan mungkin semua orang yang aku sayangi pun.“Aneh kamu Sal, kamu terlalu fanatik pada Jingga. Kamu egois, tak pernah memikirkan dirimu sendiri dan orang lain yang mencoba masuk kedalam kehidupanmu. Cobalah buka pintu hatimu, Sal. Siapa yang tahu apakah Jingga masih hidup? jikalau masih hidup bagaimana jika dia pun telah bersama yang lain?” teringat ucapan ibu ketika mimpi itu menghilang.Seburuk apapun nanti apa yang akan terjadi, aku harus menerimanya, sekalipun mimpi itu menjadi nyata. Karena ini merupakan kehendak Tuhan. Tapi, apa ini namanya cinta sejati? Yang rela menunggu sesuatu yang tidak pasti? Yang ikhlas setia mengabdi untuk satu hati?. Padahal keagungan cinta meletup bukan pada waktunya. Saat kita berada di umur yang belia, di SMA. Namun, pantaslah si Majnun gila pada Laila karena cinta dan pantaslah Romeo rela mati demi juliet karena cinta, lantas apakah aku akan mengalami suatu hal yang sama karena cintaku pada Jingga?. Semester tujuh, seperti mendapatkan hadiah dari Tuhan. Ketika dua orang berbaju serba hitam menghampiriku. “Apakah kamu yang bernama Faisal” dengan suaranya yang lantang. Sempat aku berpikir, bahwa mereka adalah depkolektor. Tapi, ah mana mungkin, aku tidak pernah meminjam uang di Bank. Yang ada tabunganku sedikit bertambah setiap bulannya, karena gajiku dari pekerjaan sampingan selalu aku tabungkan. “Salam sayang, untuk cinta pertama dari Jingga” dia berbisik. Sontak aku kaget dan perasaan aku pun menjadi campur aduk.Terimakasih Tuhan, ini jawaban atas doa-doaku, bahwa dialah yang akan menemukan aku. “Apakah jam kuliah mu telah usai? mereka bertanya. “Tentu”. Dengan segera, aku di ajak mereka menuju suatu tempat yang aku pun tidak tahu. Aku yakin, mereka akan membawaku padamu, Jingga. Begitu banyak yang ingin aku ceritakan padamu. Dan aku pun akan senang, jika kamu bercerita banyak padaku. Sepanjang perjalanan, telah aku siapkan pertanyaan pertatma yang akan aku ajukan padamu. Ya alasanmu meninggalkan aku. Itu adalah pertanyaan pertamaku. Namun, apa yang terjadi setibanya disana?.Namamu ada di nisan itu. Ya namamu. Jingga Arievta. Aku menangis, dan semua mebisu. “Maafkan kami nak, bukan maksud kami menjauhkanmu dari Jingga. Ketika Jingga memutuskan untuk berobat ke Singapore, dia tidak ingin kamu tahu, bahwa dia mengidap penyakit nak. Katanya dia tidak mau menghancurkan harapanmu lebih awal” ibunya memelukku. Aku masih tetap menangis. Semuanya membisu, hanya isak tangisan yang terdengar dikeheningan keadaan sekitar pemakaman. Aku mengerti, mimpi itu adalah pertanda, bahwa aku akan bertemu dengamu dalam keadaan alam yang berbeda. Aku ikhlaskan kepergianmu Jinggaku
Halo jingga, kini aku telah berada di Universitas yang telah kita janjikan bersama. Saat kita bertemu di kelas 11 ipa, ku lihat kau mencuri pandang padaku. Ataukah aku yang merasa kegeeran ?. Tapi, saat itulah takdir seakan sengaja mempertemukan kita, hingga kita menjalin hubungan -pacaran- sampai kita kuliah. Aku anggap seperti itu.Enam semester telah ku selesaikan dengan baik, semua nilai yang kudapatkan ini berkatmu. Entah dimana, aku percaya kamu pasti akan selalu mendoakanku. Terimakasih karena doamu, cita-citaku untuk cumlaude di semester pertama sebagai langkah awal dari perjuanganku dua semester lagi untuk menjadi sarjana, telah tercapai. Selanjutnya, ritual melihat fotomu sebelum mengahadapi tes apapun dan berdoa pada Tuhan tentunya, tak pernah aku lewatkan.Jingga, partikel rinduku berhamburan ke langit. Apalagi ketika langit menjadi jingga saat raja siang akan bergantian dengan dewi malam, hatiku mengatakan bahwa kamu pun merasakan hal yang sama denganku. Rindu.Karena aku tahu, kamu menyukai langit ketika jingga. “Hanya saat menjelang maghrib, aku bisa melihat jingga. Langit yang lainnya hanya hitam dan biru” gumamnya. Itulah yang kau ucapkan terakhir kalinya saat bertemu denganku, dan tanpa permisi kamu pun pergi ketika esok harinya ku lihat terpampang kata dijual di pagar rumahmu. Beribu tanda tanya berjatuhan di kepalaku. Alasan apa yang membuat mulutmu bungkam atas kepergianmu?. Meskipun begitu, aku tetap akan menunggumu. Memang sulit rasanya. Aku tidak lagi muda. Usiaku telah cukup untuk merajut hubungan yang lebih serius dengan perempuan manapun kata ibu. Tapi, naluriku berkata bahwa kamu hanya untukku. Egois memang. Tanpa aku ketahui, bisa saja kau di tempat yang lain telah bersama yang lain pula. Entahlah yang aku dengarkan hanyalah suara racauan hatiku, kata ibu. Yang terus berusaha mencarimu.Di jejaring sosial Facebook dan twitter pun tak akan pernah kulewatkan pula untuk mencari namamu. Aku akui, harapanku padamu seperti lilin kecil yang hampir padam. Yang habis termakan api. Tapi sudah aku katakan, naluriku berkata bahwa kamu hanya untukku. Sehabis sembahyang, ku selipkan doa untuk cinta pertamaku. Kamu. Dan berharap kamu jugalah cinta terakhirku. Hidup itu memang sebuah kejutan dan misteri. Tuhan telah merancang naskah hidupku dengan sedemikian rupa, yang salah satunya ada bagian dimana aku harus kehilanganmu saat kita mengikrarkan janji untuk memasuki Universitas yang sama.Diingatanku masih terekam jelas, begitu manisnya wajahmu di pesta perpisahan sekolah. Dan pesta itu adalah benar-benar menjadi pesta perpisahan untukmu dan untukku.Ketika aku tahu, kau menghilang, sebagai tentangga yang baik, ibu dan aku berusaha menanyakan keberadaan keluargamu pada pak RT. Sebegitunya ya mereka menyembunyikan dimana kamu berada. Karena ketika aku menanyakan hal tentangmu pada sekolah, jawabannya tetap sama : mereka tidak tahu keberadaan keluargamu. Malam ini aku bermimpi tentangmu. Kau mengenakan gaun putih dan meninggalkan aku. Memang benar, mimpi itu adalah bunga tidur, tapi apa ini juga merupakan sebuah pertanda?.Jingga, mimpi itu menakuti aku. Mengirimkan sinyal pengingat untukku bahwa kematian bisa terjadi pada siapa saja, termasuk kamu. Atau aku, dan mungkin semua orang yang aku sayangi pun.“Aneh kamu Sal, kamu terlalu fanatik pada Jingga. Kamu egois, tak pernah memikirkan dirimu sendiri dan orang lain yang mencoba masuk kedalam kehidupanmu. Cobalah buka pintu hatimu, Sal. Siapa yang tahu apakah Jingga masih hidup? jikalau masih hidup bagaimana jika dia pun telah bersama yang lain?” teringat ucapan ibu ketika mimpi itu menghilang.Seburuk apapun nanti apa yang akan terjadi, aku harus menerimanya, sekalipun mimpi itu menjadi nyata. Karena ini merupakan kehendak Tuhan. Tapi, apa ini namanya cinta sejati? Yang rela menunggu sesuatu yang tidak pasti? Yang ikhlas setia mengabdi untuk satu hati?. Padahal keagungan cinta meletup bukan pada waktunya. Saat kita berada di umur yang belia, di SMA. Namun, pantaslah si Majnun gila pada Laila karena cinta dan pantaslah Romeo rela mati demi juliet karena cinta, lantas apakah aku akan mengalami suatu hal yang sama karena cintaku pada Jingga?. Semester tujuh, seperti mendapatkan hadiah dari Tuhan. Ketika dua orang berbaju serba hitam menghampiriku. “Apakah kamu yang bernama Faisal” dengan suaranya yang lantang. Sempat aku berpikir, bahwa mereka adalah depkolektor. Tapi, ah mana mungkin, aku tidak pernah meminjam uang di Bank. Yang ada tabunganku sedikit bertambah setiap bulannya, karena gajiku dari pekerjaan sampingan selalu aku tabungkan. “Salam sayang, untuk cinta pertama dari Jingga” dia berbisik. Sontak aku kaget dan perasaan aku pun menjadi campur aduk.Terimakasih Tuhan, ini jawaban atas doa-doaku, bahwa dialah yang akan menemukan aku. “Apakah jam kuliah mu telah usai? mereka bertanya. “Tentu”. Dengan segera, aku di ajak mereka menuju suatu tempat yang aku pun tidak tahu. Aku yakin, mereka akan membawaku padamu, Jingga. Begitu banyak yang ingin aku ceritakan padamu. Dan aku pun akan senang, jika kamu bercerita banyak padaku. Sepanjang perjalanan, telah aku siapkan pertanyaan pertatma yang akan aku ajukan padamu. Ya alasanmu meninggalkan aku. Itu adalah pertanyaan pertamaku. Namun, apa yang terjadi setibanya disana?.Namamu ada di nisan itu. Ya namamu. Jingga Arievta. Aku menangis, dan semua mebisu. “Maafkan kami nak, bukan maksud kami menjauhkanmu dari Jingga. Ketika Jingga memutuskan untuk berobat ke Singapore, dia tidak ingin kamu tahu, bahwa dia mengidap penyakit nak. Katanya dia tidak mau menghancurkan harapanmu lebih awal” ibunya memelukku. Aku masih tetap menangis. Semuanya membisu, hanya isak tangisan yang terdengar dikeheningan keadaan sekitar pemakaman. Aku mengerti, mimpi itu adalah pertanda, bahwa aku akan bertemu dengamu dalam keadaan alam yang berbeda. Aku ikhlaskan kepergianmu Jinggaku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar