Music

Minggu, 24 November 2013

Jumat, 15 November 2013

Ternyata Tuhan menjawab do’a ku?



Sabtu adalah hari libur yang sering aku tunggu. Bebas. Lepas seperti burung terbang di udara. Ya, setidaknya untuk satu hari, aku bisa lepas dari rutinitas kampus. Jujur saja, semenjak masuk kuliah, yang selalu terbesit dipikiranku adalah bermain. Ketika aku baru diangkat sebagai MaBa –Mahasiswa Baru-, aku begitu cerdik (narsis sedikit, tidak apa-apalah. hahahaha)  untuk mengatur waktu. Semua tugas yang dikeluarkan oleh dosen untuk dikerjakan, aku kerjakan secepatnya. Dengan begitu, aku tidak memiliki beban saat aku ingin bermain. Semester satu bagiku adalah semester yang paling menyenangkan. Hari senin, selasa, dan rabu adalah jadwal mata kuliah padat. Selebihnya lumayanlah, tidak begitu padat. Bahkan hari sabtu, aku bisa pulang lebih awal. Di kampusku, terutama PK –Program Keahlian-ku, tidak ada yang namanya libur untuk satu minggu. Kecuali hari minggu. Ya iyalah met! Jelas, tanggalnya saja di kalender berwarna merah. Senin sampai sabtu full menuntut ilmu secara formal, di kampus.

Seperti kurva yang dimulai dari atas turun kebawah, itulah jadwal perkuliahan yang aku dapatkan. Sehingga, setiap kali mendapatkan tugas untuk jadwal mata kuliah padat –senin,selasa,rabu-, hari kamis semua tugas untuk minggu depan telah selesai. Dan aku? Bebas bermain untuk sekedar jalan-jalan, menonton fim di bioskop, atau membaca buku, dan menggambar. Asyiiiik, bukan?.
Oke, sekarang?. Alhamdulilah aku sudah menjadi kakak tingkat. Semua adik tingkat yang menjadi penghuni baru di kosanku, memanggilku kakak?. Haha geli rasanya. Seperti dikelitiki angin. Please, deh met, memangnya angin bisa menggelitikmu?. Tidak sama sekali ­-__-. 

Setiap persemesternya, aku dihadapkan dan dituntut harus bisa bersosialisasi dengan orang-orang yang baru. Semenjak matrikulasi –pembelajaran satu bulan-, sampai saat ini, aku beruntung, Tuhan selalu memberikan aku kelas terbaik. Ehem ! maksud kelas terbaik bagiku adalah aku selalu ditempatkan satu tempat dengan orang-orang yang aku kenal  baik sebelumnya. Jadi, aku tidak terlalu mati gaya, untuk mengatakan: “hai!” di kelas. Sebenarnya aku malu, satu tahun aku kuliah disini, aku belum mengenali semua teman-teman se PK ku dan mana mungkin kan, aku harus berkenalan lagi?. Aku adalah tipe orang yang tidak akan bereaksi kalau tidak ada aksi. Pemalu. Hahaha. Ya, tidak juga sih!
Bersyukur lagi. Baru di semester 3 ini, aku mendapatkan hari libur, di hari sabtu. Namun sayang, semuanya terenggut begitu saja!. Apa, sih met lebay!. Haha.
Bagiamana tidak?. Hari sabtu ini, aku mendapatkan tugas yang sangat besar. Sebesar upil. (Lucu gembel !).

Kampusku mengadakan open house. Program Keahlianku dan tentunya dengan Program Keahlian yang lainnya, akan menampilkan profil serta mendemontrasikan kegiatan yang kami lakukan dalam Program Keahlian kami masing-masing. Di PK ku, apa yang aku dan teman-teman seperjuanganku lakukan?
Memasak, menghitung kandungan gizi? Eitsssss, tidak se simple itu!. Mulai dari memilih bahan, membuat prosedur kerja, menimbang berat mentah, menyuci bahan, memasak, menimbang berat masak, menghitung kandungan gizi, dan menghitung penyerapan minyak, itu adalah tugas rutin kami. Setelah semuanya selesai, mendokumentasikan bahan mentah dan bahan jadi dan membuat laporan. Membuat laporan adalah tugas mutlak kami (dan untuk beberapa PK juga). Ya, kami . Calon ahli gizi yang dituntut, sana sini bisa.
Sana sini bisa? Hahaha. Maksudnya?. Banyak sekali lulusan dari PK ku yang pekerjaannya melenceng dari yang seharusnya –ahli gizi- menjadi pegawai bank, food stylish, ketua HRD, dan masih banyak lagi.
Bagaimana bisa?. Bisalah. Mata kuliah yang aku dapatkan bermacam-macam. Mulai dari dasar-dasar dekorasi hidangan, dasar-dasar gizi, teknik pelayanan makanan, manajemen keuangan dan pengawasan biaya, metode teknik promosi, anatomi dan fisiologi manusia, gizi dan penyakit, ditetik, bahasa inggris, aplikasi komputer, teknik pemilihan, pengolahan, penyajian hewani dan nabati, bahasa inggris dan masih banyak lagi.
Semua mata kuliah yang aku dapatkan disana yang paling menarik adalah dasar-dasar dekorasi hidangan dan teknik pelayanan makanan. Perasaan sabar di mata kuliah itu benar-benar sangat dibutuhkan, bahkan alangkah baiknya ekstra sabar. Dalam dekorasi hidangan, aku diajarkan bagaimana cara membuat mawar bengkuang (itu sangat sulit), mengcarving buah (sangat sulit), membuat mawar dari kulit tomat, sampai membuat kue ulang tahun, dan teknik merangkai bunga. Maka dari itu, banyak mereka jebolan PK ku yang memilki bakat seni, setelah keluar menamatkan kuliahnya, mereka menjadi food stylish. Proud! 

Bicara soal teknik merangkai bunga, aku berdoa pada Tuhan : “Ya, Allah semoga yang mendemonstrasikan kehalian dari Program kami aalah orang –orang yang terpilih, dan hamba harap, hamba tidak terpilih apapun. Aaminn”. Aku dan seorang temanku berharap semoga aku dan dia tidak terlibat di acara open house tersebut. Karena aku tidak mau melakukan apapun. Hahaha. Sungguh malas rasanya!.
Ternyata, Tuhan berkehendak lain. Doa’ku dijawab, tapi dengan jawaban yang lain, jawaban yang tidak aku inginkan sebenarnya. Aku terpilih menjadi salah satu orang yang akan mendemonstrasikan teknik merangkai bunga dan mencuci. Aku masih bersyukur, karena aku tidak terpilih untuk memasak, menggarnish, dan mendisplay menjadi satu kesatuan. Aku tidak terpilih untuk mendemonstrasikan teknik pelayanan makanan, skriting, mendekorasi ruangan, dan membersihkan ruangan. Tapi, sekali lagi, aku terpilih untuk ikut serta merangkai bunga dan mencuci piring!.

Alhamdulilah. Aku mensyukurinya saja, aku tahu ini adalah jawaban terhebat dan terbaik dari Tuhan untuk aku, dari do’a-do’aku.
“wajahmu met, mengingatkan dosen terhadap pembantunya di rumah, itu lah alasannya kamu ditugaskan untuk merangkai bunga, dan setelahnya adalah mencuci piring. Hahahahah”
Mungkin bisa jadi. Kami semua yang mendengarkan tertawa.HAHAHAHA




Sabtu, 26 Oktober 2013

Malam

Malam selalu sama. Gelap. Tidak seberapa peduli bintang bergerombol menemani malam untuk membuatnya terang. Karena aku punya satu hal yang membuat aku selalu merasa terang, baik dari gelapnya malam atau bahkan dari gelapnya hidup, aku menyebutnya cinta. Cinta dari Sang Pencipta Cinta, untuk Sang Pencipta, dan untuk seseorang yang selalu menjadi penerang sebagai pelengkap jalan hidupku waktu ini. Terimakasih cayahanya, cinta.

Jumat, 27 September 2013

Tempat ini

Sudah lama rasanya, aku terlalu jauh berjalan ke depan. Hingga lupa tempat ini.
Tempat yang aku bangun sendiri, dengan segala racauan ku di dalamnya.
Aku memang bukan penyair, aku juga tidak pandai dalam menulis. Setidaknya tempat ini punya sejarah, yang membuat aku harus menyisihkan sedikit ingatan, bahwa aku ingin jadi penulis. Tapi, apa iya aku bisa?. Sampai sekarang pun aku masih ragu dengan sesuatu yang harus aku kejar ini -penulis. Aku hanya orang yang selalu mengandalkan perasaan dalam menulis. Sebenarnya, aku tidak terlalu ingin jadi penulis. Yang aku lihat sampai sekarang, gambaran cita-citaku abu. Aku hanya bisa meraba-raba jalan yang sedang aku tempuh sekarang ini. Yang terpenting, apa pun aku jadinya  nanti, meskipun bukan menjadi seorang penulis. Aku ingin mereka tersenyum bahagia karena aku. aamiin.

Rabu, 06 Maret 2013

Tidak selalu di hati

bukan hanya yang ada di hati, ada yang lain yang entah dimana, saat kamu butuhkan, mereka ada, saat kamu tak ingat, mereka ingat dan saat kamu hanya percaya pada sesuatu yang ada dihati, mereka tidak di hati, tapi mereka peduli. ada dan berdiri dan dihadapanmu, meskipun itu hanya sementara. sementara.

Rabu, 06 Februari 2013

Siapa yang Salah ? ( II )


     Irna, bagaimana kabarmu? Aku harap baik-baik saja sama seperti aku. Tahukah Irna, aku merindukanmu. Ingat tidak Martin yang pernah aku ceritakan dulu di e-mail pertamaku?. Aku harap kamu mengingatnya. Kali ini ceritaku ada sangkut pautnya dengan Martin. Oh ya, aku berterimakasih banyak padamu. Meskipun kamu dan aku sekarang beda benua. Tapi kamu masih mau membalas e-mail - e-mailku. Aku pikir, kamu tidak akan membalas e-mailku. Karena aku tahu, kamu bukanlah tipe orang yang suka sekali masuk dunia maya, internet. Mungkin karena kesibukanmu. Sekalinya kamu bermain dengan internet, pasti hanya mencari bahan untuk tugas.
Irna, kemarin aku menulis di buku harian. Baru hari kemarin! Ku dengar Martin menemukan buku harianku dan mengetiknya di blog. Dia beri judul Curahan Hati Seseorang. Dan aku sudah melihatnya sebelum aku menulis ini untukkmu. Aku ingin marah rasanya. Adakah sejarah yang menyatakan bahwa buku harian seseorang boleh di baca tanpa ijin dari pemiliknya?. Tidak ada, kan?. Kali ini sikap Martin tidak dapat aku toleransi. Lantas apa maksud dari ceritaku semua ini, begitu bukan? Aku hanya ingin mencari seseorang yang masih mau mendengarkan keluh kesahku disini. Di tempat rantauan. Dan aku mempercayainya padamu. Hanya padamu, teman kecilku. Aku harap kamu jangan menghancurkannya.
     Begini, di semester ketiga aku masuk kuliah, aku bertemu dengan seorang pria yang dapat meluluhkan hatiku. Kamu tahu bukan selama kita berteman sejak kecil hingga satu SMA, aku tidak mudah jatuh hati?. Tapi entah bagaimana, cinta seenaknya saja dengan mudah menguasai hatiku. Dia adalah cinta pertama dan sekaligus pacar pertamaku. Terlalu tua mungkin, aku baru rasakan cinta pertama di jenjang kuliah. Tapi ya beginilah aku. Sebenarnya, aku tidak pernah menahan hatiku terkena cinta untuk datang sebelum masa kuliah. Tapi takdir mungkin yang mengharuskan aku merasakan cinta sekarang. Jujur, hingga saat ini hubunganku baik-baik saja dengannya. Namun, aku ingin berpisah dengannya. Pasti kamu bertanya kenapa. Alasanku ingin berpisah dengannya bukan karena bosan. Bukan itu. Sungguh bukan karena aku bosan bersamanya. Bukan juga karena orang tuaku dan orang tuanya yang tidak setuju dengan hubungan kami. Ada hal lain, yang hanya kamu dan Tuhan yang mengtehauinya. Janji?. Tapi sepertinya sia-sia saja. Kini Martin dan pengunjung blognya lebih tahu dibanding kamu. Aku sungguh kesal. Maafkan aku Irna, seharusnya, aku bercerita padamu sebelum Martin menulisnya di blog. Aku hanya takut. Takut mengganggu kuliahmu disana. Tapi aku sudah tidak kuat Irna.
     Namanya Fajar. Perangainya yang ramah, membuat orang mudah mengenalinya. Kadang aku pun cemburu, banyak teman wanita yang tak segan meminta bantuan tugas kuliah kepadanya. Wajar kan?. Meskipun begitu, aku tidak mempercayainya seratus persen. Seperti aku mempercayaimu. Maka maafkan aku, jika kamu seperti terbebani oleh rasa kepercayaanku. Fajar memang memiliki wajah yang tidak kalah manisnya dengan laki-laki yang pernah kamu sukai dulu di SMA. Tak terlintas bahwa dia akan menyakitiku. Kesakitanku malah aku terima dari yang lain. Dia tidak selingkuh. Sungguh dia lelaki yang baik, yang mau menerima aku apa adanya. Dan bahkan setelah wisuda nanti, dia ingin segera melamarku. Bagaimana aku tidak bahagia mendengar kesungguhan hatinya yang mau menuju kejenjang yang lebih serius lagi denganku?. Mungkin, aku harus berpikir kembali tentang lamaran itu.

     Alasanku ingin berpisah dengannya karena satu orang. Tantenya. Dari pertama kali aku mendengar tantenya berteriak di kejauhan, aku bisa merasakan nada bicaranya yang tidak suka dengan kehadiranku di rumahnya. Awalnya aku pikir itu hanya perasaanku saja. Makin lama, aku makin merasakan apa yang aku pikir “awalnya” ternyata memang benar. Tantenya tidak menyukaiku. Aku belum pernah bertemu dengan tantenya secara langsung. Aku hanya mendengar tantenya berteriak memanggil nama Fajar untuk segera ke lantai dua. Mereka cukup lama berbicara berdua disana. Dan aku sendiri di tinggal di ruang tamu, karena pada saat itu kedua orang tuanya sedang tidak ada dirumah. Hanya ada adiknya yang bersantai di ruang keluarga menonton tv. Aku tidak pernah bertanya apa yang sebenarnya terjadi antara Fajar dan tantenya. Karena aku penakut.
Siang itu, terik panas matahari tak menggoda aku untuk minum segelas air dingin. Yang ada di pikiranku hanya rumah. Dan saat memejamkan mata, aku harap aku ada di rumah. Tak perlu menempuh jalan untuk ke rumah. Situasi saat itu, tak memungkinkan aku untuk tersenyum. Jadi kusuruh Fajar pergi, sebelum ada petir yang membludak keluar dari mulutku. Maka hari itu pula aku batalkan acara kami.

     Fajar memang berasal dari keluarga yang berada. Tantenya adalah pemilik butik Antique yang berada tak jauh dari kampus kami. Mungkin sekitar 2 km. Suatu hari, adikku pergi kesana mengantar temannya untuk membeli baju. Apa yang didapatkannya?. Tebak Irna!. Bukan hanya baju yang di bawa pulang oleh temannya. Adikku pun membawa sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku ketika dia bercerita padaku. Hinaan. Adikku menerima hal itu dari pemilik butik itu, di depan temannya. Aku tidak membencinya. Hanya saja, jika tantenya tidak bisa menerima kehadiranku, kenapa ia juga harus melimpahkan rasa ketidakbisaan menerima kehadiranku pada adikku?. Tidak adil bukan?. Kasihan adikku jadi korban.
     Aku tidak bisa menceritakan apa yang dilakukan oleh tantenya pada adikku. Cukup itu yang boleh kamu ketahui. Selebihnya tidak. Bukan maksud membuatmu penasaran, tapi kamu mengerti kan apa yang aku rasakan?. Semuanya menjadi semakin rumit di tambah dengan ulah Martin. Ah, minum obat pereda pusing pun tidak ada gunanya. Yang pusing ini bukan cuma pikiranku. Tapi hatiku pun ikut pusing di buatnya. Dulu aku berharap masa SD cepat berganti dengan SMP, masa SMP beganti dengan masa SMA, dan masa SMA berganti dengan masa kuliah. Itu dulu. Andai waktu bisa aku ulang, aku harap di mana pun aku berada, aku mampu mengatasi segalanya. Tapi lihat? Masalah seperti ini saja, aku ternyata tidak kuat. Semakin aku bicara pada diri sendiri mengatakan aku kuat, aku semakin sadar bahwa aku adalah manusia yang lemah, yang berusaha untuk kuat.
Martin sepertinya memendam rasa yang hingga kini belum bisa dia hapus dan menerima bahwa aku tidak bisa memilihnya dibanding memilih Fajar. Sebelum menulis post yang berisi buku harianku, dia menulis sebuah post juga. Dan Aku membacanya.

Teruntuk yang menyakiti.
Aku yakin, bukan aku yang terpilih, karena Tuhan sengaja menyuruh aku untuk berjuang merebutmu dari tangan yang kini menjadi kekasihmu.
Tak peduli apapun yang orang katakan. Aku tetap mencintaimu.
Janur kuning belum melengkung. Aku masih bisa berusaha merebutmu.
Kamu memang bukan satu-satunya wanita yang membuat aku harus menitipkuan hatiku. Tapi aku tahu, dikejauhan sana -di hatimu-, sebelum kamu mengenalnya dan kita masih berteman, kamu adalah wanita yang paling baik yang pernah aku kenal. Sederhana memang. Tak sesederhana apa yang aku tulis sekarang.
Aku laki-laki yang mencintaimu, yang rela membuat apapun terlihat berlebihan, agar kamu mau datang padaku dan berkata “tolong hentikan semuanya”. Dan aku bisa mengenalmu kembali seperti semula, hingga membuatmu melupakan dia untiukku. Aku mohon. Katakan itu dan kejar aku.

Martin sengaja sekali ingin membuat aku  menghentikan ulahnya dan kembali berteman dengannya. Aku tidak pernah memusihinya dan memasang batas perang antara aku dengannya. Entah apa yang sudah dia lakukan. Cinta benar-benar membuat semua orang menjadi gila. Termasuk Martin. Orang yang aku kenal sejak ospek kuliah. Apa yang harus aku lakukan? Kisahku bersama Fajar tersebar kemana-mana dan Martin ikut tertawa. Aku harus menghentikan Martin. Tapi semua itu sama saja, aku menyerahkan hatiku secara terpaksa untuknya. Membuat dia bangga bahwa misi yang dia kerjakan, akhirnya berhasil. Semuanya begitu memalukan.
Cukup sekian e-mail ku. Terimkasih jika kamu mau membalasnya lagi, sahabat kecilku.

Kamis, 24 Januari 2013

Cerpen

    Siapa yang Salah?

      Aku seperti terjatuh di ketinggian yang tidak pernah aku ketahui bahwa ketika tersandung kedepan, disana adalah jurang. Perasaanku bermain genderang dengan kerasnya, bunyinya dag dig dug berpacu dengan jantung seperti masuk wahana adrenalin. Sebenarnya aku tidak mau membahasnya, bahkan menuliskannya dengan rangkaian kata yang aku tulis ini. Hanya saja, ada yang lain yang tidak bisa aku bungkam. Tentang perasaan. Waktu kita untuk saling menyelami pribadi masing-masing tidaklah sebentar. Bayangkan siapa yang rela jika akhirnya arti dari tiga tahun ini harus berpisah? Tidak akan ada yang rela, mungkin. Atau kamu yang rela? . Melepaskan memang cara terbaik untuk menemukan seseorang yang lebih baik dari yang pernah kita punya. Tapi bukan seperti itu. Aku meninggalkanmu seperti aku harus keluar dari zona nyamanku. Semua murni datang dari hati tanpa paksaan. Suatu saat, jika benar kamu memang bukan untukku saat ini, aku harap nanti kamu adalah jodohku. Dan jika kamu suatu saat nanti bukan jodohku, aku harap kamu –harus- menemukan seseorang yang lebih -segalanya- dari aku. Mungkin, pada akhirnya, tujuan kita sebelum menemukan orang yang terbaik untuk kita adalah,... kita dipertemukan  dulu  dengan orang yang kurang tepat untuk kita. Bagiku, jika kamu adalah orang yang kurang tepat, tapi kamu adalah orang yang kurang tepat yang pernah membahagiakan aku. Aku memang tidak sempurna, kamu pun begitu.  
      Aku adalah embun yang sudah tidak kuat bergelayut manja bertahan pada ujung daun. Setelah begini, akulah yang harus memutuskan, kemana aku harus melangkah. Waktu yang digunakan untuk mengambil suatu keputusan -itu sangat singkat- tidaklah seimbang dengan dampak - jangka panjang- yang akan kuterima nanti. Aku harus bagaimana? Rasanya pertanyaan itu berasal dari bayangan cerminku, untuk aku. 
Setiap hari, aku memikirkan cara yang tepat agar kita dapat berpisah dengan cara yang baik sama saat kita pertama kali sepakat membangun hubungan kita dengan cara yang baik. Aku tahu, dari status teman menjadi ‘status yang lebih dari teman’ itu mudah, tetapi jika dari ‘’status yang lebih dari teman' untuk menjadi status teman -lagi- itu sulit dan tentunya membutuhkan waktu. Obat penawar segala kesakitan adalah waktu. Tapi waktu tidak bisa menjamin bahwa kita benar-benar akan sembuh. Semuanya begitu penuh ketidakpastian. Apalagi akhir-akhir ini pikiranku selalu berawan dan menggumpal membentuk wajahmu. Aku benar-benar tidak mau mengakhiri semuanya dengan kata "berpisah". Namun, ada sosok lain yang menjadi benteng dan membuat aku harus berpikir untuk kesekian kalinya –lagi- tentang hubungan kita. Karena bagaimana pun, pastinya kamu akan lebih memilih dia dibandingkan memilih aku. Semua sikapku yang berbeda ini adalah celah untukmu agar kamu dapat berkata, "sebaiknya kita sampai disini saja". Tapi apa yang aku dengar dari mulutmu? Kamu hanya selalu bertanya, "kamu kenapa?".  Apa mungkin aku harus menjawab, “sebenarnya aku ingin berpisah denganmu tanpa menyakitimu”, bagaimana bisa, kan?
Kata berpisah itu adalah pisau kecil yang tak kalah tajamnya dengan gergaji besar kesombongan. Sekalinya saja terkena kedua benda tajam itu, kita pasti berdarah.
      Aku tidak mau memulai perpisahan itu. Aku hanya ingin kamu yang memulainya. Tapi kamu tidak pernah mengerti akan celah yang telah aku beri. Seberapa besarkah rasa sabarmu? Padahal aku tahu, kamu bukan malaikat. Lantas, kenapa kamu mau menjadi malaikat untukku? 
Ayolah, terima pesanku. Terima bahwa aku ingin berpisah denganmu bukan karena kemauanku. Ada sosok yang lain, yang menjagamu dan bilang bahwa aku adalah hanya mawar berduri untuk jarimu. Masih banyak bunga lain, selain mawar yang lebih aman untuk jarimu, katanya. 
     Dan ini, terakhir kali aku bilang, jika kamu dipaksa harus memilih, kamu pasti akan memilih dia. Maka terimalah pesanku, lupakan aku dan jangan tanya siapa yang salah. Bukan aku, kamu, dia, keadaan, waktu dan Tuhan yang salah. Lantas siapa? aku pun tidak tahu.