Music

Rabu, 06 Februari 2013

Siapa yang Salah ? ( II )


     Irna, bagaimana kabarmu? Aku harap baik-baik saja sama seperti aku. Tahukah Irna, aku merindukanmu. Ingat tidak Martin yang pernah aku ceritakan dulu di e-mail pertamaku?. Aku harap kamu mengingatnya. Kali ini ceritaku ada sangkut pautnya dengan Martin. Oh ya, aku berterimakasih banyak padamu. Meskipun kamu dan aku sekarang beda benua. Tapi kamu masih mau membalas e-mail - e-mailku. Aku pikir, kamu tidak akan membalas e-mailku. Karena aku tahu, kamu bukanlah tipe orang yang suka sekali masuk dunia maya, internet. Mungkin karena kesibukanmu. Sekalinya kamu bermain dengan internet, pasti hanya mencari bahan untuk tugas.
Irna, kemarin aku menulis di buku harian. Baru hari kemarin! Ku dengar Martin menemukan buku harianku dan mengetiknya di blog. Dia beri judul Curahan Hati Seseorang. Dan aku sudah melihatnya sebelum aku menulis ini untukkmu. Aku ingin marah rasanya. Adakah sejarah yang menyatakan bahwa buku harian seseorang boleh di baca tanpa ijin dari pemiliknya?. Tidak ada, kan?. Kali ini sikap Martin tidak dapat aku toleransi. Lantas apa maksud dari ceritaku semua ini, begitu bukan? Aku hanya ingin mencari seseorang yang masih mau mendengarkan keluh kesahku disini. Di tempat rantauan. Dan aku mempercayainya padamu. Hanya padamu, teman kecilku. Aku harap kamu jangan menghancurkannya.
     Begini, di semester ketiga aku masuk kuliah, aku bertemu dengan seorang pria yang dapat meluluhkan hatiku. Kamu tahu bukan selama kita berteman sejak kecil hingga satu SMA, aku tidak mudah jatuh hati?. Tapi entah bagaimana, cinta seenaknya saja dengan mudah menguasai hatiku. Dia adalah cinta pertama dan sekaligus pacar pertamaku. Terlalu tua mungkin, aku baru rasakan cinta pertama di jenjang kuliah. Tapi ya beginilah aku. Sebenarnya, aku tidak pernah menahan hatiku terkena cinta untuk datang sebelum masa kuliah. Tapi takdir mungkin yang mengharuskan aku merasakan cinta sekarang. Jujur, hingga saat ini hubunganku baik-baik saja dengannya. Namun, aku ingin berpisah dengannya. Pasti kamu bertanya kenapa. Alasanku ingin berpisah dengannya bukan karena bosan. Bukan itu. Sungguh bukan karena aku bosan bersamanya. Bukan juga karena orang tuaku dan orang tuanya yang tidak setuju dengan hubungan kami. Ada hal lain, yang hanya kamu dan Tuhan yang mengtehauinya. Janji?. Tapi sepertinya sia-sia saja. Kini Martin dan pengunjung blognya lebih tahu dibanding kamu. Aku sungguh kesal. Maafkan aku Irna, seharusnya, aku bercerita padamu sebelum Martin menulisnya di blog. Aku hanya takut. Takut mengganggu kuliahmu disana. Tapi aku sudah tidak kuat Irna.
     Namanya Fajar. Perangainya yang ramah, membuat orang mudah mengenalinya. Kadang aku pun cemburu, banyak teman wanita yang tak segan meminta bantuan tugas kuliah kepadanya. Wajar kan?. Meskipun begitu, aku tidak mempercayainya seratus persen. Seperti aku mempercayaimu. Maka maafkan aku, jika kamu seperti terbebani oleh rasa kepercayaanku. Fajar memang memiliki wajah yang tidak kalah manisnya dengan laki-laki yang pernah kamu sukai dulu di SMA. Tak terlintas bahwa dia akan menyakitiku. Kesakitanku malah aku terima dari yang lain. Dia tidak selingkuh. Sungguh dia lelaki yang baik, yang mau menerima aku apa adanya. Dan bahkan setelah wisuda nanti, dia ingin segera melamarku. Bagaimana aku tidak bahagia mendengar kesungguhan hatinya yang mau menuju kejenjang yang lebih serius lagi denganku?. Mungkin, aku harus berpikir kembali tentang lamaran itu.

     Alasanku ingin berpisah dengannya karena satu orang. Tantenya. Dari pertama kali aku mendengar tantenya berteriak di kejauhan, aku bisa merasakan nada bicaranya yang tidak suka dengan kehadiranku di rumahnya. Awalnya aku pikir itu hanya perasaanku saja. Makin lama, aku makin merasakan apa yang aku pikir “awalnya” ternyata memang benar. Tantenya tidak menyukaiku. Aku belum pernah bertemu dengan tantenya secara langsung. Aku hanya mendengar tantenya berteriak memanggil nama Fajar untuk segera ke lantai dua. Mereka cukup lama berbicara berdua disana. Dan aku sendiri di tinggal di ruang tamu, karena pada saat itu kedua orang tuanya sedang tidak ada dirumah. Hanya ada adiknya yang bersantai di ruang keluarga menonton tv. Aku tidak pernah bertanya apa yang sebenarnya terjadi antara Fajar dan tantenya. Karena aku penakut.
Siang itu, terik panas matahari tak menggoda aku untuk minum segelas air dingin. Yang ada di pikiranku hanya rumah. Dan saat memejamkan mata, aku harap aku ada di rumah. Tak perlu menempuh jalan untuk ke rumah. Situasi saat itu, tak memungkinkan aku untuk tersenyum. Jadi kusuruh Fajar pergi, sebelum ada petir yang membludak keluar dari mulutku. Maka hari itu pula aku batalkan acara kami.

     Fajar memang berasal dari keluarga yang berada. Tantenya adalah pemilik butik Antique yang berada tak jauh dari kampus kami. Mungkin sekitar 2 km. Suatu hari, adikku pergi kesana mengantar temannya untuk membeli baju. Apa yang didapatkannya?. Tebak Irna!. Bukan hanya baju yang di bawa pulang oleh temannya. Adikku pun membawa sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku ketika dia bercerita padaku. Hinaan. Adikku menerima hal itu dari pemilik butik itu, di depan temannya. Aku tidak membencinya. Hanya saja, jika tantenya tidak bisa menerima kehadiranku, kenapa ia juga harus melimpahkan rasa ketidakbisaan menerima kehadiranku pada adikku?. Tidak adil bukan?. Kasihan adikku jadi korban.
     Aku tidak bisa menceritakan apa yang dilakukan oleh tantenya pada adikku. Cukup itu yang boleh kamu ketahui. Selebihnya tidak. Bukan maksud membuatmu penasaran, tapi kamu mengerti kan apa yang aku rasakan?. Semuanya menjadi semakin rumit di tambah dengan ulah Martin. Ah, minum obat pereda pusing pun tidak ada gunanya. Yang pusing ini bukan cuma pikiranku. Tapi hatiku pun ikut pusing di buatnya. Dulu aku berharap masa SD cepat berganti dengan SMP, masa SMP beganti dengan masa SMA, dan masa SMA berganti dengan masa kuliah. Itu dulu. Andai waktu bisa aku ulang, aku harap di mana pun aku berada, aku mampu mengatasi segalanya. Tapi lihat? Masalah seperti ini saja, aku ternyata tidak kuat. Semakin aku bicara pada diri sendiri mengatakan aku kuat, aku semakin sadar bahwa aku adalah manusia yang lemah, yang berusaha untuk kuat.
Martin sepertinya memendam rasa yang hingga kini belum bisa dia hapus dan menerima bahwa aku tidak bisa memilihnya dibanding memilih Fajar. Sebelum menulis post yang berisi buku harianku, dia menulis sebuah post juga. Dan Aku membacanya.

Teruntuk yang menyakiti.
Aku yakin, bukan aku yang terpilih, karena Tuhan sengaja menyuruh aku untuk berjuang merebutmu dari tangan yang kini menjadi kekasihmu.
Tak peduli apapun yang orang katakan. Aku tetap mencintaimu.
Janur kuning belum melengkung. Aku masih bisa berusaha merebutmu.
Kamu memang bukan satu-satunya wanita yang membuat aku harus menitipkuan hatiku. Tapi aku tahu, dikejauhan sana -di hatimu-, sebelum kamu mengenalnya dan kita masih berteman, kamu adalah wanita yang paling baik yang pernah aku kenal. Sederhana memang. Tak sesederhana apa yang aku tulis sekarang.
Aku laki-laki yang mencintaimu, yang rela membuat apapun terlihat berlebihan, agar kamu mau datang padaku dan berkata “tolong hentikan semuanya”. Dan aku bisa mengenalmu kembali seperti semula, hingga membuatmu melupakan dia untiukku. Aku mohon. Katakan itu dan kejar aku.

Martin sengaja sekali ingin membuat aku  menghentikan ulahnya dan kembali berteman dengannya. Aku tidak pernah memusihinya dan memasang batas perang antara aku dengannya. Entah apa yang sudah dia lakukan. Cinta benar-benar membuat semua orang menjadi gila. Termasuk Martin. Orang yang aku kenal sejak ospek kuliah. Apa yang harus aku lakukan? Kisahku bersama Fajar tersebar kemana-mana dan Martin ikut tertawa. Aku harus menghentikan Martin. Tapi semua itu sama saja, aku menyerahkan hatiku secara terpaksa untuknya. Membuat dia bangga bahwa misi yang dia kerjakan, akhirnya berhasil. Semuanya begitu memalukan.
Cukup sekian e-mail ku. Terimkasih jika kamu mau membalasnya lagi, sahabat kecilku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar