Irna,
bagaimana kabarmu? Aku harap baik-baik saja sama seperti aku. Tahukah Irna, aku
merindukanmu. Ingat tidak Martin yang pernah aku ceritakan dulu di e-mail
pertamaku?. Aku harap kamu mengingatnya. Kali ini ceritaku ada sangkut pautnya
dengan Martin. Oh ya, aku berterimakasih banyak padamu. Meskipun kamu dan aku
sekarang beda benua. Tapi kamu masih mau membalas e-mail - e-mailku. Aku pikir,
kamu tidak akan membalas e-mailku. Karena aku tahu, kamu bukanlah tipe orang
yang suka sekali masuk dunia maya, internet. Mungkin karena kesibukanmu. Sekalinya
kamu bermain dengan internet, pasti hanya mencari bahan untuk tugas.
Irna, kemarin
aku menulis di buku harian. Baru hari kemarin! Ku dengar Martin menemukan buku
harianku dan mengetiknya di blog. Dia beri judul Curahan Hati Seseorang. Dan
aku sudah melihatnya sebelum aku menulis ini untukkmu. Aku ingin marah rasanya.
Adakah sejarah yang menyatakan bahwa buku harian seseorang boleh di baca tanpa
ijin dari pemiliknya?. Tidak ada, kan?. Kali ini sikap Martin tidak dapat aku
toleransi. Lantas apa maksud dari ceritaku semua ini, begitu bukan? Aku hanya
ingin mencari seseorang yang masih mau mendengarkan keluh kesahku disini. Di
tempat rantauan. Dan aku mempercayainya padamu. Hanya padamu, teman kecilku.
Aku harap kamu jangan menghancurkannya.
Begini, di
semester ketiga aku masuk kuliah, aku bertemu dengan seorang pria yang dapat
meluluhkan hatiku. Kamu tahu bukan selama kita berteman sejak kecil hingga satu
SMA, aku tidak mudah jatuh hati?. Tapi entah bagaimana, cinta seenaknya saja
dengan mudah menguasai hatiku. Dia adalah cinta pertama dan sekaligus pacar
pertamaku. Terlalu tua mungkin, aku baru rasakan cinta pertama di jenjang
kuliah. Tapi ya beginilah aku. Sebenarnya, aku tidak pernah menahan hatiku
terkena cinta untuk datang sebelum masa kuliah. Tapi takdir mungkin yang
mengharuskan aku merasakan cinta sekarang. Jujur, hingga saat ini hubunganku
baik-baik saja dengannya. Namun, aku ingin berpisah dengannya. Pasti kamu
bertanya kenapa. Alasanku ingin berpisah dengannya bukan karena bosan. Bukan
itu. Sungguh bukan karena aku bosan bersamanya. Bukan juga karena orang tuaku
dan orang tuanya yang tidak setuju dengan hubungan kami. Ada hal lain, yang
hanya kamu dan Tuhan yang mengtehauinya. Janji?. Tapi sepertinya sia-sia saja.
Kini Martin dan pengunjung blognya lebih tahu dibanding kamu. Aku sungguh
kesal. Maafkan
aku Irna, seharusnya, aku bercerita padamu sebelum Martin menulisnya di blog.
Aku hanya takut. Takut mengganggu kuliahmu disana. Tapi aku sudah tidak kuat
Irna.
Namanya
Fajar. Perangainya yang ramah, membuat orang mudah mengenalinya. Kadang aku pun
cemburu, banyak teman wanita yang tak segan meminta bantuan tugas kuliah
kepadanya. Wajar kan?. Meskipun begitu, aku tidak mempercayainya seratus
persen. Seperti aku mempercayaimu. Maka maafkan aku, jika kamu seperti
terbebani oleh rasa kepercayaanku. Fajar memang memiliki wajah yang tidak kalah
manisnya dengan laki-laki yang pernah kamu sukai dulu di SMA. Tak terlintas
bahwa dia akan menyakitiku. Kesakitanku malah aku terima dari yang lain. Dia
tidak selingkuh. Sungguh dia lelaki yang baik, yang mau menerima aku apa
adanya. Dan bahkan setelah wisuda nanti, dia ingin segera melamarku. Bagaimana
aku tidak bahagia mendengar kesungguhan hatinya yang mau menuju kejenjang yang
lebih serius lagi denganku?. Mungkin, aku harus berpikir kembali tentang
lamaran itu.
Alasanku
ingin berpisah dengannya karena satu orang. Tantenya. Dari pertama kali aku
mendengar tantenya berteriak di kejauhan, aku bisa merasakan nada bicaranya
yang tidak suka dengan kehadiranku di rumahnya. Awalnya aku pikir itu hanya
perasaanku saja. Makin lama, aku makin merasakan apa yang aku pikir “awalnya”
ternyata memang benar. Tantenya tidak menyukaiku. Aku belum pernah bertemu
dengan tantenya secara langsung. Aku hanya mendengar tantenya berteriak
memanggil nama Fajar untuk segera ke lantai dua. Mereka cukup lama berbicara
berdua disana. Dan aku sendiri di tinggal di ruang tamu, karena pada saat itu
kedua orang tuanya sedang tidak ada dirumah. Hanya ada adiknya yang bersantai
di ruang keluarga menonton tv. Aku tidak pernah bertanya apa yang sebenarnya
terjadi antara Fajar dan tantenya. Karena aku penakut.
Siang itu,
terik panas matahari tak menggoda aku untuk minum segelas air dingin. Yang ada
di pikiranku hanya rumah. Dan saat memejamkan mata, aku harap aku ada di rumah.
Tak perlu menempuh jalan untuk ke rumah. Situasi saat itu, tak memungkinkan aku
untuk tersenyum. Jadi kusuruh Fajar pergi, sebelum ada petir yang membludak
keluar dari mulutku. Maka hari itu pula aku batalkan acara kami.
Fajar
memang berasal dari keluarga yang berada. Tantenya adalah pemilik butik Antique
yang berada tak jauh dari kampus kami. Mungkin sekitar 2 km. Suatu
hari, adikku pergi kesana mengantar temannya untuk membeli baju. Apa yang
didapatkannya?. Tebak Irna!. Bukan hanya baju yang di bawa pulang oleh
temannya. Adikku pun membawa sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan seumur
hidupku ketika dia bercerita padaku. Hinaan. Adikku menerima hal itu dari
pemilik butik itu, di depan temannya. Aku tidak membencinya. Hanya saja, jika
tantenya tidak bisa menerima kehadiranku, kenapa ia juga harus melimpahkan rasa
ketidakbisaan menerima kehadiranku pada adikku?. Tidak adil bukan?. Kasihan
adikku jadi korban.
Aku tidak
bisa menceritakan apa yang dilakukan oleh tantenya pada adikku. Cukup itu yang
boleh kamu ketahui. Selebihnya tidak. Bukan maksud membuatmu penasaran, tapi
kamu mengerti kan apa yang aku rasakan?. Semuanya menjadi semakin rumit di
tambah dengan ulah Martin. Ah, minum obat pereda pusing pun tidak ada gunanya.
Yang pusing ini bukan cuma pikiranku. Tapi hatiku pun ikut pusing di buatnya.
Dulu aku berharap masa SD cepat berganti dengan SMP, masa SMP beganti dengan
masa SMA, dan masa SMA berganti dengan masa kuliah. Itu dulu. Andai waktu bisa
aku ulang, aku harap di mana pun aku berada, aku mampu mengatasi segalanya.
Tapi lihat? Masalah seperti ini saja, aku ternyata tidak kuat. Semakin aku
bicara pada diri sendiri mengatakan aku kuat, aku semakin sadar bahwa aku
adalah manusia yang lemah, yang berusaha untuk kuat.
Martin
sepertinya memendam rasa yang hingga kini belum bisa dia hapus dan menerima bahwa
aku tidak bisa memilihnya dibanding memilih Fajar. Sebelum menulis post yang
berisi buku harianku, dia menulis sebuah post juga. Dan Aku membacanya.
Teruntuk yang menyakiti.
Aku yakin, bukan aku yang terpilih, karena Tuhan
sengaja menyuruh aku untuk berjuang merebutmu dari tangan yang kini menjadi
kekasihmu.
Tak peduli apapun yang orang katakan. Aku tetap
mencintaimu.
Janur kuning belum melengkung. Aku masih bisa
berusaha merebutmu.
Kamu memang bukan satu-satunya wanita yang membuat
aku harus menitipkuan hatiku. Tapi aku tahu, dikejauhan sana -di hatimu-,
sebelum kamu mengenalnya dan kita masih berteman, kamu adalah wanita yang
paling baik yang pernah aku kenal. Sederhana memang. Tak sesederhana apa yang
aku tulis sekarang.
Aku laki-laki yang mencintaimu, yang rela
membuat apapun terlihat berlebihan, agar kamu mau datang padaku dan berkata
“tolong hentikan semuanya”. Dan aku bisa mengenalmu kembali seperti semula,
hingga membuatmu melupakan dia untiukku. Aku mohon. Katakan itu dan kejar aku.
Martin
sengaja sekali ingin membuat aku
menghentikan ulahnya dan kembali berteman dengannya. Aku tidak pernah
memusihinya dan memasang batas perang antara aku dengannya. Entah apa yang
sudah dia lakukan. Cinta benar-benar membuat semua orang menjadi gila. Termasuk
Martin. Orang yang aku kenal sejak ospek kuliah. Apa yang harus aku lakukan? Kisahku
bersama Fajar tersebar kemana-mana dan Martin ikut tertawa. Aku harus
menghentikan Martin. Tapi semua itu sama saja, aku menyerahkan hatiku secara
terpaksa untuknya. Membuat dia bangga bahwa misi yang dia kerjakan, akhirnya
berhasil. Semuanya begitu memalukan.
Cukup sekian e-mail ku. Terimkasih jika kamu mau membalasnya lagi, sahabat kecilku.
Cukup sekian e-mail ku. Terimkasih jika kamu mau membalasnya lagi, sahabat kecilku.